Kematian demi kematian. Lara hati yang tak henti-henti. Dan harapan yang seolah tak pernah abadi. Di tengah kepedihan itulah Gimba, 6 tahun, lahir dan tumbuh besar. Bocah lelaki itu tinggal bersama sang ibu yang berumur 45 tahun, dan seorang kakeknya, di pelosok pegunungan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Malangnya Gimba, ibunya kini sedang sakit-sakitan. Tak jelas apa sakitnya. Namun kita mendapati kondisinya jauh dari kata baik, karena bersirobok dengan wajah sang ibu yang pucat, dan gerak tubuhnya nan lunglai.
Gimba tak banyak berkata-kata. Sejak awal pun dia tak banyak bermain seperti sebayanya, apalagi terlihat sedikit saja ceria. Kesedihannya terekam dalam gerak mata. Misalnya saat ia menyaksikan orang-orang memikul tandu yang mengangkut orang sakit untuk keluar dari desanya. Setibanya di dataran, mereka yang sakit akan dilarikan ke fasilitas kesehatan terdekat. Namun sayangnya, kerap kali mereka tak kembali lagi ke kampung. Banyak dari mereka pada akhirnya meninggal di perjalanan, seperti halnya ayah Gimba.
Sejak sang ayah pergi, Gimba tak pernah mau jauh dari ibunya. Karena itu ia terlihat pilu saat si ibu pun mulai menunjukkan gelagat sakit. Ke mana pun ibunya yang seorang petani itu pergi, Gimba selalu ikut. Ia menunggui di atas bukit, dan berkenalan dengan gadis cilik misterius bernama Lara. Di bukit itu pula Ibu biasa mengajari Gimba sebuah lagu. Tembang itu dipercayai bisa menenangkan dan membawa kebahagiaan bila Gimba tengah sendiri.
Sudut pandang Gimba menjadi kekuatan film Mountain Song yang rilis pertengahan tahun lalu. Film ini diproduseri Ifa Isfansyah (Sang Penari, Pendekar Tongkat Emas, Siti), dan diarahkan oleh sutradara asal Palu, Sulawesi Tengah, Yusuf Radjamuda. Naskah film berdurasi 80 menit ini juga digarap Yusuf, dan menang di Shanghai International Film Festival (SIFF) 2019 untuk kategori Best Scriptwriter Asian New Talent Award.
Wajar kiranya bila naskah Mountain Song digdaya di festival akbar itu. Alur ceritanya sederhana tetapi kuat, dengan sinematografi dan musik yang puitik. Kamera bergerak dinamis menyesuaikan ritme cerita. Kadang kamera mengambil dari jarak yang sangat jauh, menangkap lanskap pegunungan Pipikoro yang indah tapi sekaligus menggentarkan. Cara pandang kamera ini merepresentasikan betapa jarak menjadi pelahap harapan di sana. Terlihat bagaimana jauh dan susah-payahnya Ibu dan Gimba saban hari berjalan dari rumah ke kebun. Juga beratnya medan yang mesti ditempuh warga saat menggotong orang sakit dengan tandu.
Kritik sosial sejak awal sudah melekat di film ini. Prihal buruknya akses, fasilitas kesehatan, serta transportasi, yang masih menjadi momok di tengah moleknya alam Sulawesi. Kontradiksi ini menarik, juga karena masih jarang ada film yang menyentuh ranah Sulawesi, berikut problem kesehatan dan aksesnya yang belum mumpuni. Kalau pun belakangan perfilman Sulawesi, terutama Sulawesi Selatan, makin unjuk gigi, kebanyakan menyoal budaya dan percintaan. Seperti film Uang Panai’, Cinta di Bira, Athirah, juga Badik.
Karenanya suguhan dari Yusuf dan rumah produksi Fourcolours Films ini seolah menjadi penabuh genderang yang menyuarakan kondisi di pedalaman. Bahwa ketidakadilan itu masih bertumbuh jauh di Sulawesi sana. Bahwa dera kemiskinan masih meranggas dan menghantui warga yang tak berdaya. Dan bahwa modernitas yang begitu dielukan di kota-kota, bagi sebagian orang masih sebatas utopia.
TRIVIA
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar