OPINI

Selasa, 30 Juli 2019 | 01:05

Ilustrasi/Sumber: id.lovepik.com

Beberapa kesempatan yang lalu, saya ke wilayah Majene Sulawesi Barat, kebetulan saat itu acara keluarga. Setiba di sana, seperti biasa, pihak keluarga mengajak saya berbincang santai sambil mengupdate berita dan kejadian yang terjadi di Majene. Salah satu berita yang kali ini menyita perhatian saya adalah hilangnya nelayan saat pergi melaut mencari ikan. Kejadian itu terjadi beberapa kali tahun ini, kata keluarga saya itu. Kebanyakan nelayan yang hilang biasanya tidak ditemukan lagi, jika sedikit beruntung, mayatnya ditemukan terdampar di pantai. Namun ada juga yang berhasil selamat. Ketika peristiwa seperti itu terjadi, biasanya orang di sana akan mengaitkannya dengan mitos penunggu laut berupa makhluk gaib yang saban tahun memakan korban. Mendengar cerita itu, saya kemudian berfikir, benarkah mitos tentang penunggu laut yang memakan korban tersebut? Atau adakah penyebab lain dari kejadian itu?

Perairan laut di Teluk Mandar memang sejak dulu terkenal ganas dan diselimuti berbagai mitos yang mistis. Dari beberapa sumber yang saya baca, tempat mencari ikan tersebut berada di wilayah Perairan Masalembo, yang juga dikenal sebagai segitiga bermuda ala Indonesia karena terletak di antara garis khayal yang menghubungkan Pulau Bawean, Kota Majene, dan Kepulauan Tengah yang berada di Laut Jawa. Perairan itu terkenal memiliki arus yang sangat kencang, disamping hembusan angin yang kuat sehingga keadaan alam yang keras sangat memungkinkan kapal atau pesawat yang melaluinya akan mengalami kecelakaan.

Peristiwa yang paling menggemparkan pernah terjadi di sana adalah tenggelamnya KMP Tampomas II, yang sebelumnya terbakar kemudian menenggelamkan ratusan penumpangnya. Masih basah dalam ingatan kita tentang peristiwa kecelakaan Pesawat Adam Air, yang diduga jatuh dan tenggelam di perairan itu. Bangkai pesawat beserta penumpangnya tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Cerita horor tempat itu pun semakin kuat dan menyerebak ke berbagai pelosok.

Beberapa tahun sebelumnya, saat saya juga pulang menuju Majene dengan mengendarai mobil sewa, salah satu penumpang dari mobil tersebut adalah seorang lelaki paruh baya. Saat saya berbincang dengannya, orang tersebut mengaku bekerja sebagai nelayan di Majene yang perahunya pernah terbalik saat mencari ikan di laut. Ia cukup pandai berenang, perahu yang dinaikinya meski sudah terbalik tetap mengapung sehingga orang tersebut berpegangan pada perahu, Ia pun terkatung-katung di lautan selama satu hari satu malam. Beruntung orang itu diselamatkan kapal laut yang lewat di perairan tempat perahunya tenggelam. Pemilik kapal kemudian mengangkut orang tersebut dan membawanya ke Makassar. Yang menarik dari kisah tenggelamnya perahu orang itu adalah karena tidak ada campur tangan gaib di sana. Murni karena cuaca, ombak dan arus yang besar yang mampu membalikkan perahu miliknya.

Di perairan yang cukup mengerikan tersebut itulah nelayan yang ada di Sulawesi Barat banyak mencari ikan. Dengan menggunakan perahu Sandeq, perahu yang diaggap sebagai perahu tradisional paling cepat di dunia itu, nelayan yang ada di sana mengarungi lautan yang ganas. Dalam “Kabupaten Majene Dalam Angka Tahun 2018 Badan Pusat Statistik Kabupaten Majene”, jumlah nelayan yang ada di sana tahun 2017 sebanyak 6.965 orang dari 169.072 jiwa penduduk Kabupaten Majene. Nelayan yang ada di sana memproduksi ikan sebanyak 7 ribu Ton pada tahun 2017. Meski orang yang bekerja sebagai nelayan tergolong sedikit, namun kegiatan itu turut menopang perekonomian yang ada di Majene. Tapi sayangnya, dukungan dari pemerintah untuk para nelayan bisa dibilang masih sangat minim.

Sependek pengetahuan saya, pengetahuan soal menangkap ikan di Majene masih sangat tadisional. Hanya sebatas pengetahuan membuat perahu, membaca cuaca serta menentukan arah angin. Sedangkan pengetahuan soal penyelamatan diri dari kecelakaan laut masih sangat minim. Peralatan yang digunakan juga masih tergolong sederhana. Selama saya melihat nelayan melaut, hampir tidak ada alat pelampung atau sejenisnya yang tersedia di perahunya. Tak heran jika perahu nelayan sering tenggelam dan mengakibatkan matinya para nelayan. Jadi bukan karena penunggu gaib lautan yang menyebabkannya demikian, tapi seperti dikisahkan oleh nelayan yang selamat yang saya ceritakan sebelumnya: keadaan alam yang ganas, peralatan yang tidak memadai serta pengetahuan tentang penyelamatan diri yang hampir tidak ada.

Pihak pemerintah terutama Pemerintah Kabupaten Majene seharusnya memperhatikan hal itu. Program pelatihan bagi para nelayan terkait penyelamatan diri saat terjadi trouble di lautan sebaiknya dilakukan. Pengadaan dan bantuan alat-alat penyelamatan diri dari pemerintah juga sangat penting, sehingga saat melaut, para nelayan sudah siap menghadapi berbagai kondisi alam. Meski kondisi alam tidak bisa dilawan, tapi tetap bisa diminimalisir dampak terburuknya dengan pengetahuan dan alat-alat penyelamatan.

Untuk menjaga kemungkinan terburuk, para nelayan juga bisa diberikan asuransi yang disebut Asuransi Perikanan. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2016, tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Asuransi tersebut berupa asuransi untuk kecelakaan kerja serta asuransi untuk kehilangan jiwa yang difasilitasi dan disiapkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

Jika pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Majene tetap tidak memperhatikan dan tidak mendukung sepenuhnya kegiatan para nelayan di sana, mungkin inilah bentuk nyata dari makhluk gaib yang paling ditakuti orang-orang di sana: ketidak pedulian pemerintah yang mengakibatkan setiap tahun nelayan menjadi korban.

Praktisi Hukum

Mulya Sarmono, SH



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas