Tokoh

Kamis, 10 November 2022 | 16:14

Tugu Pahlawan di Majene, Sumber: Sulbarkita.com/Ashari

Nyaris Jadi Korban Pembantaian Westerling

Majene, Sulbarkita.com -- BANYAK tokoh yang terlibat dalam perjuangan mengusir penjajah di tanah Mandar, Sulawesi Barat. Namun tak semua kisahnya tertuang dalam buku-buku sejarah, kisah mereka memudar dan hilang seiring orang-orang yang mengetahuinya juga tiada.

Seperti halnya kisah Sahuda, warga Lakkading, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene. Kepahlawanan Sahuda diakui Negara lewat pemberian status Veteran pada istrinya, Hamasiah, yang sudah berpulang sejak 3 Mei 2011. Sehingga, sekecil apapun sumbangsih Sahuda dalam perjuangan Indonesia, tetap harus diakui sebagai bagian dari upaya anak bangsa mempertahankan Tanah Airnya dari kebengisan penjajah.

Baca juga:
Sahuda, Pejuang asal Sendana Majene yang Terlupakan (Part II)
Teka Teki di Balik Monumen Perjuangan di Majene
Menengok Kondisi Tugu Andi Depu di Hari Kartini

Sitti Hadijah, 92 tahun, anak pertama Sahuda, dan Sahari, berusia 78 Tahun, anak kelima Sahuda adalah orang yang tersisa, di tengah perjuangan salah satu putra asal Mandar ini. Sayangnya mereka tak ingat persis soal waktu, hanya penggalan-penggalan cerita yang masih singgah di ingatannya. Namun kisah antara kakak beradik ini memiliki kesesuaian sejarah perjuangan masyarakat di Mandar melawan penjajah.

Sitti Hadijah, anak pertama Sahuda

Menurut Hadijah, Sahuda muda adalah orang yang senang berorganisasi. Ia menjadi anggota organisasi pergerakan bernama Kelaskaran Rahasia Islam Muda (KRIS MUDA) Mandar, organisasi yang dipimpin oleh Andi Depu Maraqdia Balanipa, yang telah bersatus Pahlawan Nasional sejak 2018. Dalam buku “Kelaskaran Di Mandar Sulawesi Barat: Kajian Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan” (2010:138) karya Muhammad Amir menyebutkan KRIS MUDA didirikan pada 19 Oktober 1945.

Sahuda juga bergabung pada organisasi pergerakan lainnya bernama Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia (GAPRI) 5.3.1 yang dibentuk pada November 1945 di Baruga Majene. 

Hamasiah, istri Sahuda juga turut sang suami memasuki kedua organisasi tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Persaksian yang ditanda tangani oleh Kuni (saat itu menjabat sebagai Wakil Komd. Bn. II Ros. III KRIS MUDA/GAPRI 5.3.1) dan M. Soonoosi (yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bhg. Perlengkapan Bn. II Ros. III KRIS MUDA/GAPRI 5.3.1). Dalam Surat Keterangan itu disebutkan bahwa Hamasia telah bergabung dalam KRIS MUDA/GAPRI 5.3.1 mulai tanggal 02 November 1945 sampai tanggal 27 Desember 1949.

Selain itu, salah satu komandan tempur KRIS MUDA yang bernama Hamma Sale Puanna I Su’ding, juga masih kerabat dekat dengan Hamasia. “Hamma Saleh Puanna I Su’ding merupakan paman dari Hamasia, istri Sahuda ”, ucap Sahari saat ditemui di kediamannya pada 6 Agustus 2022. Hamma Sale Puanna I Su’ding alias Hammad Saleh merupakan cucu dari Mara'dia Alu yang termasyur dengan keberaniannya melawan penjajah sejak zaman Jepang hingga Belanda.

Dalam buku “Perjuangan Hammad Saleh: Menentang Jepang dan Belanda di Mandar 1942- 1947” (2014:134-135) karya Muhammad Amir, catatan perlawanan KRIS MUDA dan GAPRI cukup banyak. Di antaranya insiden mengibarkan bendera di atas kapal BO, saat pasukan Belanda berlabuh di Pelabuhan Majene. Kemudian penghadangan mobil patroli KNIL di Jembatan Puppole, Campalagian pada Januari 1946. Berikutnya kontak senjata dengan aparat NICA di Segeri (Baruga) dan Pangale di Majene, serta serangan ke Tangsi KNIL di Pamboang dan Kota Majene pada April 1946. Kontak senjata di Abaga dan Tarring Baruga serta Simullu pada Mei 1946,penghadangan patrol KNIL di Pamboang dan Asing-Asing pada Juni 1946, kontak senjata di Silopo dan Segeri pada Agustus 1946, dan pembunuhan Controliur di Tonyaman pada Agustus 1946.

Pua’ (ayah) saya kesehariannya adalah seorang nelayan dan guru mengaji namun dia geram melihat penindasan yang terjadi sehingga terpanggil untuk menggabungkan dalam organisasi itu (KRIS MUDA dan GAPRI 5.3.1),” kata Hadijah saat ditemui di kediamannya di Lakkading, Kecamatan Sendana, Majene pada Agustus 2022.

Keterlibatan Sahuda dalam melawan penjajah tak hanya diakui oleh anak-anaknya, tapi juga Saruddil, 68 Tahun, Imam Masjid Dusun Lembang, Desa Limbua, Kecamatan Sendana. Saruddil mengaku pernah mendengar almarhum ayahnya yakni Copong bercerita soal sepak terjang Sahuda dalam melawan penjajah. “Kalau cerita yang pernah saya dengar dari ayah saya, bahwa Sahuda itu adalah punggawa (pemimpin) pejuang se Kecamatan Sendana,” kata Saruddil saat ditemui di kediamannya pada Rabu 21 September 2022.

 

Korban 40 Ribu Jiwa di Totolisi

Dalam usianya yang telah renta, Hadijah dan Sahari masih mengingat sejumlah rentetan peristiwa yang melibatkan sang ayah, Sahuda. Salah satunya saat sejumlah warga dari Desa Totolisi datang ke kediaman Sahuda untuk menerima sebuah kartu keanggotaan GAPRI 5.3.1, karena hendak ikut berjuang melawan penjajah. Waktu itu, Hadijah mulai beranjak remaja. Sementara Sahari masih baru mau masuk ke jenjang Sekolah Rakyat (Volkschool).

“Saya pernah melihat kartu itu, warnanya keabu-abuan, besarnya kira-kira seperti HP (Handphone),” kata Sahari yang ditemui di kediamannya di Dusun Lembang, Desa Limbua, Kecamatan Sendana, Majene.

Namun nahas, Hadijah melanjutkan, warga Totolisi diadang oleh pribumi, kaki tangan Belanda saat perjalanan pulang. Saat diperiksa, para antek-antek penjajah itu juga menemukan kartu yang diberikan Sahuda kepada mereka. “Naua inai punggawamu? (siapa pimpinan kalian),” kata Hadijah menirukan cerita soal penangkapan orang-orang Totolisi itu. Mereka dipaksa membeberkan identitas pemberi kartu tersebut yakni Sahuda. Kondisi yang terjepit membuat pejuang Totolisi itu lantas membeberkan identitas Sahuda.

“Tidak lama selah peristiwa itu, orang-orang Totolisi itu diserahkan ke Westerling lalu dibawa ke pinggir pantai. Di sana mereka disuruh berbaris dan ditembak mati,” kata Hadijah dengan suara pelan. Matanya lalu menerawang ke atas langit-langit rumahnya yang terbuat dari kayu kelapa.

Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Tragedi berdarah Korban 40.000 Jiwa itu terjadi pada tahun 1947. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh seorang Raymond Pierre Paul Westerling membantai warga di hampir seluruh wilayah Sulawesi termasuk di Majene. Kini para pejuang asal Totolisi tersebut terbaring dalam Taman Makam Pahlawan Korban 40 Ribu Jiwa di Jalan Poros Majene-Mamuju di Desa Totolisi.

Taman Makam Pahlawan Totolisi, Korban 40 Jiwa

 

Sahuda juga nyaris tak lolos dari tragedi tersebut. Ia ditangkap oleh para antek Belanda yang juga tak lain pemangku adat di wilayah itu atas informasi yang diterima dari penyiksaan pejuang asal Totolisi. Ia lalu digiring ke pinggir jalan agar bisa segera diangkut oleh pasukan Westerling. Namun Sahuda punya jurus jitu untuk mengancam para penangkapnya itu. “Tapi ingat ya, saya berjuang bersama Aco Lesang. Saya akan bilang seperti itu ke Westerling!” kata Hadijah menirukan sang ayah saat ditangkap.

Para penangkap itu lalu kaget lantaran orang yang disebut Sahuda adalah kerabat sang penangkap dan juga anak seorang Pabbicara, tokoh adat yang disegani di Majene. Mereka khawatir bila pihak Westerling mengetahui hal tersebut, keluarganya pun ikut habis dibantai. Loyalitas sebagai kaki tangan Belanda juga bisa-bisa dipertanyakan. “Pua’ saya akhirnya tidak jadi diserahkan kepada Westerling karena para pemangku adat ini takut kerabatnya juga dibunuh,” ujar Sahari (bersambung…….)

TIM REDAKSI SULBARKITA.COM



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas