Rumahnya Jadi Markas Pejuang dari Kalimantan
Majene, Sulbarkita.com -- SEBELUM peristiwa pembantaian yang menimpa para pejuang asal Totolisi, sejak lama Sahuda tak pernah jera membangun kekuatan untuk melawan penjajah. Bahkan rumah Sahuda yang tak jauh dari pantai di Dusun Lembang, Kecamatan Sendana, Majene, menjadi markas persinggahan para pejuang kemerdekaan. "Rumah kami cukup besar dan panjang ke arah pantai. Ada jembatan kecil menuju ke ruangan dapur," ujar Hadijah, 92 tahun, anak pertama Sahuda.
Baca juga:
Sahuda, Pejuang asal Sendana Majene yang Terlupakan (Part I)
Teka Teki di Balik Monumen Perjuangan di Majene
Menengok Kondisi Tugu Andi Depu di Hari Kartini
Tak hanya berasal dari Sulawesi, para pejuang yang datang ke rumah Sahuda juga berasal dari Kalimantan. Pejuang dari Kalimantan memang lekat dengan pejuang Mandar, Darwis Rasyid, dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Daerah Polewali Mamasa 1945-1950, halaman 43, menulis utusan Kalimantan bersama para pemuda dari KRIS MUDA Mandar ikut membentuk Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia (GAPRI) 5.3.1, yang kerap menyerang dan merepotkan Belanda dan mata-matanya.
Sementara dalam penelitian Abd. Rahman Hamid dari UIN Alauddin Makassar berjudul Nasionalisme Dalam Teror Di Mandar Tahun 1947, halaman 44, juga menulis perjuangan rakyat Mandar mendapatkan dukungan dari luar daerah, khususnya Jawa Timur dan Kalimantan.
Dalam penelitian tersebut tercatat pula berita pemeriksaan Nevis Buiten Kantor Makassar pada halaman 39 yang menyebut Raden Ishak, Pimpinan GAPRI 5.3.1 divisi Majene pertama, mulanya datang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan dengan menggunakan sebuah perahu, lalu singgah di kampung Palipi, Sendana, sebelum ke Makassar, lalu kembali ke Majene. Palipi berjarak sekitar 7 kilometer dari rumah Sahuda di Dusun Lembang.
Hadijah masih menghafal sejumlah nama pejuang dari Kalimantan yang singgah di rumahnya tersebut. “Ada namanya Gumpo, Badri, Gani, Samsi, Mardaeni, dan Hasan Basri. Mardaeni ini lengannya sobek karena pernah terkena peluru, sedangkan Hasan Basri pernah ditangkap dan dipenjara di Banggae (Majene),” ujar Hadijah. “Hasan Basri waktu di penjara bikin anting-anting dari plastik berwarna merah putih, lalu dikasih ke saya sebagai hadiah,” ucap Hadijah mengenang.
Sahari, Anak kelima Sahuda
Menurut Sahari, 78 Tahun, anak kelima Sahuda, pejuang dari Kalimantan ini juga mengasup banyak senjata ke rumah Sahuda. “Ada pistol Kanada dan banyak sekali granat,” katanya. Dalam penelitian Abd. Rahman Hamid, pada halaman 37, disebut pula bahwa Andi Sinrang dari Balikpapan, Kalimantan Timur, pernah membawa granat model cerutu buatan Australia untuk membantu pejuang Mandar melawan penjajah.
Saking banyaknya jumlah pejuang yang kerap datang ke rumah Sahuda, Hadijah menyatakan sang ibu, Hamasiah, besarta 4 warga yang membantunya, memasak nasi hingga 90 liter sehari. Makanan itu lalu dibungkus dengan daun pisang untuk dibawa pergi oleh para pejuang sebagai bekalnya dalam bergerilya. Sementara lauknya dicari sendiri oleh para pejuang dengan menembak ikan di laut. “Saking banyaknya daun pisang yang dibutuhkan untuk bungkus nasi, kami cari sampai ke Leppangang (daerah yang hampir 5 kilometer dari rumah Sahuda).”
Banyaknya kebutuhan konsumsi yang disediakan untuk para pejuang jelas mempengaruhi ekonomi keluarga Sahuda, namun Hadijah mengatakan ayahnya tidak ambil pusing. “Barang berharga kami habis terjual, mulai dari lemari, perabot rumah tangga, bahkan satu kantong kecil emas Ibu saya,” kata Hadijah.
Sahari juga masih ingat sang ayah pernah menyembelih seekor kerbau untuk disuguhkan kepada para pejuang dari Kalimantan tersebut. “Tapi itu hanya dikomsumsi sekitar 2 hari,” ujarnya.
Saking senangnya Sahuda kerap disambangi para pejuang, ia menamai salah satu putranya Mantang, asal kata dari Kalimantan, tempat para pejuang-pejuang itu berasal. “Saya tidak ingat persis jumlah berapa orang pejuang dari Kalimantan itu, mungkin ratusan, mereka sangat banyak,” kata Hadijah.
Granat di Kandang Ayam
Kendati ramai dikunjungi para penjuang, aktivitas di rumah Sahuda dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun kondisi tersebut tak bertahan lama, para mata-mata Belanda akhirnya mengetahuinya. Salah satu pemicunya, kata Hadijah, adalah pasukan dari Kalimantan yang terpaksa menggali sumur tak jauh dari rumah Sahuda karena air sumur lama mereka mulai terasa asin. Maklum saja, rumah itu tak jauh dari bibir pantai. “Ada yang lihat pemuda-pemuda itu lantas dilaporkan ke pasukan Belanda,” kata Hadijah.
Tak berselang lama, pasukan Belanda datang melakukan penggeledahan di rumah Sahuda. Kedatangan pasukan Belanda pun langsung diketahui oleh Sahuda dan pasukannya. Para pejuang tersebut langsung kabur melarikan diri. Sementara Hamasiah dan Sahuda bergegas menyembunyikan barang-barang para pejuang.
Menurut Hadijah, sejumlah granat dan senjata api disimpan di beberapa tempat, “Granat disembunyikan di dalam balanu (tarangan ayam dari daun kelapa yang dianyam) dan juga di pepohonan di belakang rumah,” kata Hadijah. “Saya lihat ayah saya menyembunyikan senjata berupa pistol di dalam panci dan ada pula dimasukkan ke dalam abu bekas pembakaran kayu di dalam tungku.”
Dibantu oleh beberapa warga yang satu perjuangan dengan Sahuda, lanjut Hadijah, pakaian para pejuang tersebut mulai dari baju hingga sepatu dimasukkan ke dalam karung lalu di tanam di bawah pasir. Walhasil ketika pasukan Belanda tiba, mereka hanya menemukan Sahuda bersama istri dan beberapa kerabatnya. “Tapi, di situ saya melihat langsung pua’ (ayah) saya dikeroyok oleh Belanda,” ujarnya sedih dengan suara terbata-bata.
Maipa, 90-an Tahun, warga Dusun Lembang, Desa Limbua juga mengaku pernah menyaksikan Sahuda dikeroyok oleh pasukan Belanda. Kisah itu disampaikan oleh Halamia, 67 tahun, putri Maipa, saat ditemui di kediamannya. Menurut Maipa, kejadian itu terjadi seusai dirinya belajar mengaji di rumah Sahuda. “Sahuda dikeroyok dan didorong hingga terjatuh ke penggilingan padi,” ujar Halamia menceritakan kembali cerita ibunya.
Namun lagi-lagi kondisi itu tak membuat Sahuda menyerah, Hadijah mengingat ayahnya semakin gencar menyerang pasukan Belanda bersama para pejuang dari Kalimantan itu. Bahkan Sahuda di bawah bendera KRIS MUDA Mandar dan GAPRI 5.3.1 mulai terang-terangan dengan menggunakan sejumlah mobil, senjata api, serta bambu runcing untuk melakukan penyerangan. “Pernah saya lihat mereka pergi dengan 4 mobil truk,” kata Hadijah.
Dalam penenelitian Abd. Rahman Hamid hal 39-40, GAPRI melakukan berbagai aksi penyerangan terhadap tentara NICA dan KNIL di seluruh wilayah Mandar sepanjang tahun 1946. Di Majene, mereka menyerang di sejumlah titik sejak April hingga Desember yakni Pamboang, Buttu Segeri, Buttu Saman, hingga Bababulo. “Semua aksi GAPRI dilakukan secara sporadis, serentak, dan kadang-kadang spontan. Taktik ini sangat merepotkan musuh.” tulis Rahman. “Itulah sebabnya pasukan GAPRI sangat dicari oleh NICA dan KNIL.”
Hadijah tidak tahu persis di mana posisi ayahnya dalam peperangan yang tercatat tersebut. Yang dia ingat hanya kebahagian yang sangat besar dari ibu dan saudara-saudaranya bila sang ayah pulang. “Kami tidak sempat merasakan banyak kasih sayangnya. Semasa hidup Sahuda, dia jarang bersama kami karena dia terus bepergian untuk berjuang,” kata Hadijah.
Perlawanan sepanjang 1964 tersebut membuat para pimpinan Belanda murka. Menurut Dr. H. Anwar Sewang, M.Ag, dalam buku Ibu Agung H.A. Depu (hal 113), Belanda melakukan aksi balasan dengan mengirim pasukan yang dipimpin Westerling ke Mandar. Peristiwa itu membuat catatan kelabu yang tak akan pernah terlupakan sepanjang perjalanan bangsa Indonesia dengan pembantaian rakyat yang dikenal dengan nama Tragedi berdarah Korban 40.000 Jiwa pada 1947. (Bersambung….)
Baca soal tragedi 40 ribu jiwa di sini:
Sahuda, Pejuang asal Sendana Majene yang Terlupakan (Part I)
Mengenang Galung Lombok, Pembantaian Terhadap 40 Ribu Jiwa
TIM REDAKSI SULBARKITA.COM
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar