Majene, Sulbarkita.com -- Supiati, 70 tahun, tampak sibuk melayani pembeli di toko kuenya, di Jalan Gatot Subroto, Banggae, Kabupaten Majene, Jumat 16 Agustus 2019. Tangan tuanya yang keriput begitu cekatan membungkus sejumlah jajanan khas Mandar seperti roti pawa untuk disajikan ke pembeli. Maklum saja, Supiati sudah puluhan tahun menggeluti bisnis tersebut di sekitar Pusat Pertokoan Majene.
Ingatan Supiati juga masih cerah kendati usianya sudah lebih dari setengah abad. Ia masih mengingat banyak cerita di masa mudanya, termasuk keberadaan patung yang menjulang gagah di depan tokonya. “Kalau saya tidak salah, patung itu sudah ada saat Mustar Lazim menjabat Bupati Majene sekitar 1991 – 1992,” kata Supiati. Ia mengernyitkan dahi, berusaha mengingat sejarah patung tersebut.
Baca juga:
Menengok Kondisi Tugu Andi Depu di Hari Kartini
Patung itu berwujud seorang pria yang gagah dengan ikatan kepala. Di tangan kanannya, tergenggam bambu dengan bendera Merah Putih di ujungnya. Sementara tangan kirinya mengepal keras, menunjukkan otot lengan dengan urat yang timbul bak kawat.
Matanya begitu tajam memandang ke sisi kiri. Sejurus dengan goloknya yang terselip di pinggang yang diikat kain merah. Adapun kaki patung memijak di atas sebuah kubus beton persegi lima. Pada tiap sisi terdapat relief perjuangan melawan Belanda.
Patung setinggi 6 meter itu dikenal dengan sebutan Monumen Perjuangan. “Tapi saya tidak tahu siapa sosok pejuang yang kemudian dijadikan model patung itu,” ujar Supiati dalam bahasa Mandar.
Sebagian dari generasi muda Majene juga tak tahu asal-usul patung yang berdiri di tengah persimpangan Jl Gatot Subroto-Jl. Moh. H. Mustafa tersebut. “Terus terang saya tidak tahu, tapi saya berharap agar tugu direnovasi,” kata Aldy, 25 tahun, seorang mahasiswa. Kondisi patung terbilang kurang terawat. Cat yang membalut tubuh patung tersebut tampak kusam dan terkelupas.
Informasi mengenai Monumen Perjuangan memang tak mudah diperoleh. Pun demikian di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Majene. Kepala Bidang Pengembangan Kebudayaan Disbudpar Majene, Muh. Yassin, hanya menunjukkan sejumlah catatan pendek terkait Monumen Perjuangan. "Kami punya rujukan ini," kata Yassin kepada Sulbarkita.com pada Senin 12 Agustus.
Catatan bernomor 23/01/Banggae/11.2007 menyebutkan Monumen Perjuangan berdiri di lokasi pengibaran bendera Merah Putih I tahun 1945 oleh Abdul Hamid. Namun tak disebut siapa Abdul Hamid itu. Dituliskan pula bahwa monumen pernah dipugar pada 1980, kemudian pada 2000, 2002, 2003, serta 2006. Sayangnya tak dicatat bentuk renovasi maupun jumlah anggaran yang digunakan.
Catatan tentang Monumen Perjuangan Majene
Informasi mulai terang ketika menemui Thamrin, seorang pegiat literasi Majene, Jumat 16 Agustus. Menurutnya Abdul Hamid alias Hamidong adalah pemuda pejuang asal Saleppa, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene. “Patung inilah yang menjadi perwujudan Abdul Hamid,” ujarnya.
Menurut Thamrin, Abdul Hamid adalah sosok yang menjaga sejumlah pemuda seperti Aco Baharuddin, Mansur, Halang dan kawan-kawan yang hendak mengibarkan bendera Merah Putih di persimpangan Jl. Gatot Subroto pasca-Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Maklum, tentara Belanda masih berkeliaran di Majene kala itu.
“Pengibaran bendera ada di dua titik, pertama di Assamalewuang dan kedua di persimpangan Jl. Gatot Subroto. Nah, pengibaran bendera yang kedua dijaga oleh Abdul Hamid,” kata Thamrin.
Namun Ayyub Muchsin Ali, Kepala Lingkungan Saleppa, mengklaim patung tersebut adalah perwujudan ayahnya. Muchsin Ali, yang juga tokoh Majene. "Hamidong bersama orang tua saya saat pengibaran bendera. Bahkan Bupati Mustar Lazim pernah datang ke rumah untuk bertemu Bapak sebelum patung dibuat," katanya. Sayangnya Ayyub tak menunjukkan bukti yang mendukung klaimnya tersebut.
Muchsin Ali/ist
Dalam Ensiklopedia Sejarah dan kebudayaan Mandar, karya Suradi Yasil pada 2002, tercatat pembangunan monumen diprakarsai Pamerintah tingkat II Kabupaten Majene dan para pejuang Angkatan 45 di Majene. Monumen ini didirikan pada 1992 dan selesai pada 1993. Pada 1994 Monumen Perjuangan direnovasi, lalu pada 2 Februari 1995 diresmikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat l Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam buku tersebut, disebutkan pula relief yang terukir di kubus beton bercerita tentang kisah heroik sejumlah pemuda Sulbar dalam melawan penjajah. Salah satunya dengan memanjat bendera Belanda dan merobek warna birunya di sebuah kapal yang bersandar di Pelabuhan Majene.
Muhammad Ashari
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar