Makassar, Sulbarkita.com -- Benteng Somba Opu di Kelurahan Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, menyimpan beragam peninggalan sejarah di Sulawesi. Benteng yang dibangun pada pertengahan abad ke-16 oleh Raja Gowa IX Matanre Karaeng Tumapa'risi Kallonna itu, juga berisi jejak sejarah rumah adat di Mandar, Sulawesi Barat.
Rumah adat Sulbar cukup khas di Benteng luas 1.500 hektare tersebut, karena di sana kita diperkenalkan dengan rumah adat setiap kabupaten di wilayah Mandar. Mulai dari rumah adat Polewali Mandar, rumah adat Mamasa, rumah adat Mamuju, serta rumah adat Majene.
Rumah Adat Polman
Bila kita masuk melalui jalur bagian timur benteng, akan terlihat sebuah rumah adat panggung yang menghadap ke selatan. Namun rumah yang berada persis di pertigaan jalan tersebut akan sulit dikenali karena tak berpapan nama. Sulbarkita.com baru mengetahui itu rumah adat Polman, setelah menemui warga yang menjaganya.
Salah satunya Rya Amir, 15 Tahun, anak dari Cidondeng Amir, 40 tahun, yang selama ini bertanggungjawab merawat rumah adat tersebut. Rya mengaku tinggal bersama orang tuanya di rumah adat tersebut, “Keluarga kami sudah lama menetap di sini, ayah saya bilang tinggal di sini jauh sebelum saya lahir,” katanya saat ditemui Sulbarkita.com pada Jumat, 16 Februari.
Kendati demikian, kondisi rumah cukup memprihatinkan. Warna rumah berkonstruksi kayu itu sudah pucat karena tidak tersentuh cat. Sejumlah bagian bangunan seperti dinding dan tiang tampak lapuk karena usia. Sebagian atap genteng sirap atau kayu ulinnya juga sudah rontok, sehingga diganti dengan seng.
Rya mengatakan hal itu akibat tidak adanya dana perawatan rumah secara berkala. Orang tuanya juga tak bisa berbuat banyak karena tidak pernah mendapat sokongan dana dari pemerintah. Namun keluarga Rya terpaksa mengeluarkan biaya sendiri agar nyaman ditinggali.
Seperti yang terjadi dua pekan belakangan, ayahnya merenovasi sejumlah bagian bangunan rumah yang lapuk. "Atap dan tangga depan rumah yang lapuk sudah diganti. Biayanya dari bapak saya sendiri," kata Rya sembari menyatakan ayahnya Cidondeng sedang tidak berada di rumah.
Rumah Adat Mamasa
Sekitar 600 meter dari rumah adat Polman ke arah barat, terdapat rumah adat Mamasa. Seperti nasib rumah adat Polman, rumah adat Mamasa juga tak berpapan nama. Keberadaannya baru terkonfirmasi setelah Sulbarkita.com menemui sejumlah warga di sana.
Rumah adat yang memiliki kemiripan dengan Tongkonan, rumah adat Tanah Toraja tersebut menghadap ke utara dengan pepohonan yang lebat di sekelilingnya. Pekarangan depan luas melebihi ukuran lapangan futsal. Tak seperti rumah adat Polman, rumahnya cukup sepi. Tak tampak ada yang menjaga rumah tersebut.
Rumah Adat Mamuju
Jauh ke arah barat, sekitar 200 meter dari rumah adat Mamasa, terdapat rumah adat Mamuju. Tak seperti rumah adat lainnya, rumah adat Mamuju mempunyai papan nama bertuliskan “Sapo Kayyanna To Mamunyu” yang dalam bahasa Mandar berarti “Rumah Besar Orang Mamuju”.
Kondisi rumah juga masih cukup kokoh dan cukup terawat. Dari depan, tangga rumah panggung itu terbuat dari semen dengan hiasan susunan keramik yang mengkilat. Pun demikian dengan pekarangan rumah yang ditumbuhi tanaman-tanaman dan rerumputan hias.
Sayangnya, rumah adat itu hanya bisa dipandangi dari kejauhan. Sebab beberapa ekor anjing milik penjaga rumah sudah menghadang di depan jalan. Walhasil, kita pun tak bisa masuk ke rumah adat tersebut.
Rumah Adat Majene
Selemparan batu dari rumah adat Mamuju, berdiri rumah adat Majene. Namun kondisinya tak lebih beruntung dari rumah adat Mamuju. Peninggalan sejarah ini tampak reyot dimakan usia.
Anak tangga yang terbuat dari kayu ulin di sana sini sudah retak. Sehingga membahayakan bagi pengunjung yang hendak memasuki rumah panggung tersebut. Beberapa bagian anak tangga juga sudah diganti, namun kayu yang digunakan bukanlah ulin sehingga mengurangi nilai estetikanya.
Rumah adat Majene dihuni Agus, 34 Tahun, beserta istri dan kedua orang putranya. Agus merupakan menantu Daeng Silang, 60 Tahun yang dimandatkan oleh pemerintah Majene untuk merawat rumah adat tersebut.
Menurut Agus, mertuanya semula diberi honor oleh pemerintah Majene, namun honor berhenti ketika Majene masuk dalam provinsi Sulawesi Barat, hasil pemekaran Sulawesi Selatan. “Terakhir mertua saya dapat honor pada 2006, jumlahnya 30 ribu rupiah perbulan, tetapi dirapel pertahun,” ujarnya.
Sama seperti perhatian pemerintah Majene ke Daeng Silang, anggaran pemeliharan rumah adat juga taka ada sejak Sulbar berdiri. Namun bantuan sekali pernah diterima pada 2014 setelah Daeng Silang menghadap ke pemerintah Majene.
|
“Dinas PU Majene mengirim 200 lembar atap seng, mertua saya kemudian mengganti atap yang rusak” katanya sembari berharap pemerintah tetap memperhatikan aset sejarahnya. (ERISUSANTO)
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar