Budaya

Kamis, 27 Agustus 2015 | 14:40

Ilustrasi foto rumah di atas pohon-sumber desainrumah99.web.id

Rumah itu seperti sarang burung di atas dahan pepohonan raksasa. Di balut kayu dan daun rotan yang kering, bangunan sederhana berbentuk kubus itu menyatu dalam alam Sulawesi Barat yang penuh keindahan.

Pemiliknya adalah Suku Bunggu, suku yang mendiami pedalaman Mamuju Utara, kabupaten hasil pemekaran Mamuju. Suku ini mulanya bertahan hidup dengan pola hidup nomaden atau berpindah. Mereka akan mencari lahan yang subur untuk bercocok tanam dan meninggalkannya setelah musim panen. Makanan pokok mereka adalah singkong, sagu, dan jagung.

Rumah sengaja dibuat di atas pohon agar mereka terhindar dari binatang buas. Sekaligus sebagai tempat persembunyian dari ancaman pihak lain. Maklum, Suku Bunggu terbiasa hidup terasing, sehingga merasa terancam bila mengetahui kehadiran orang lain.

Bagi warga Pasangkayu, kecamatan di Mamuju Utara, Suku Bunggu dianggap pandai menyelinap dan menghilang di balik pohon dengan cepat. Mereka pun kerap dijuluki To Pambuni, sebutan bagi orang yang terasing tapi memiliki kekuatan gaib.

Konon, nenek moyang suku Bunggu tidak berdarah Mandar, suku yang mayoritas di Sulawesi Barat. Mereka berasal dari Suku Kaili di Sulawesi Tengah yang mengembara ke pegunungan Sulbar.

Seiring dengan perkembangan zaman, dan hutan yang mulai menyusut akibat penebangan liar, hingga pembukaan lahan sawit. Mereka berlahan membuat rumah panggung yang lantainya hanya sekitar dua meter di atas permukaan tanah. Kebiasaan berpindah pun berangsung ditinggalkan.

Mayoritas Suku Bunggu kini memilih menetap di sejumlah desa di Mamuju Utara, seperti Desa Pakava, Desa Bambaira, Desa Sarjo, Desa Polewali, serta Desa Martasari. Di sana, mereka membangun rumah sederhana yang beratap rumbia, berdinding serta berlantai papan. Namun mulai tersentuh oleh teknologi dengan keberadaan radio dan televisi.

Desa Pakava adalah wilayah yang paling tersentuh dengan kemajuan teknologi informasi tersebut. Masuknya listrik ke wilayah itu membuat Suku Bunggu lambat laun membuka mata dengan perkembangan dunia. Pekerjaan utama bercocok tanam merambah ke tanaman produktif, misalnya kakao dan jeruk. Mereka pun cukup terbuka dengan masyarakat luar.

Tak salah bila Desa Pakava disulap menjadi pusat pesta adat Suku Bunggu. Pesta ini digelar sekali setahun antara Mei-Juni yang dilaksanakan selama tiga hari. Biasanya, pesta adat menjadi “reuni” Suku Bunggu baik yang sudah menetap di pedesaan maupun yang masih hidup berpindah di pegunungan.

Pesta adat ini berisi bermacam acara, termasuk ritual memperingati kelahiran anak dan dilaksanakan secara bersamaan di atas Bantaya, sebutan rumah panggung berukuran dua kali lipat lebih besar dari rumah Suku Bunggu. Rumah  yang tak berdinding itu semacam tempat pertemuan yang di buat di tengah desa.

Di dalam pesta adat, Suku Bunggu biasanya menampilkan tarian Ma’dero, semacam tarian tradisional yang melibatkan muda-mudi suku tersebut. Mereka membentuk lingkaran kecil, sedang, dan besar. Kemudian berputar secara melingkar mengikuti tabuhan gendang.

Keterbukaan dengan dunia luar membuat Desa Pakava kini menjadi obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Jangan khawatir, jalur transportasi sudah menembus wilayah ini. Dari pusat kota Mamuju Utara, bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat kurang lebih 45 menit.

Kendati kondisi jalan belum sepenuhnya terawat dengan baik, kita tak akan bosan karena disuguhi pemandangan hutan yang lebat serta kebun kelapa sawit. Di pintu gerbang desa, mata akan tertuju pada tulisan, "Selamat Datang Di Desa Adat Pakava".

RUSSLANDA.BLOGSPOT.COM | KOMPASIANA
Ilustrasi foto : desainrumah99.web.id/

 



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas