OPINI

Selasa, 05 Mei 2020 | 01:22

ilustrasi/ Sumber: cartoonmovement.com

Di saat meningkatnya depresi publik karena berbagai dampak pendemi Covid-19, masyarakat kembali diperhadapkan dengan ancaman terhadap hak berpendapat di muka umum. Pemicunya tak lain adalah kebijakan Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang saat ini dijabat oleh Komisaris Jenderal Idham Azis menerbitkan Surat Telegram bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tanggal 4 April 2020.

Surat telegram tersebut tentang penaganan perkara dan pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Covid-19. Ada dua poin yang masing-masing berisi lima dan tujuh subpoin. Pada poin 1C berisi aturan tentang bentuk pelanggaran “penghinaan” terhadap Presiden dan Pejabat Pemerintahan dalam rangka penaggulangan Covid-19 dilakukan oleh Pemerintah.

Melihat kondisi ini, terkesan adanya paksaan dalam pemberlakuannya, serta membuka risiko penyalagunaan kekuasaan oleh penegak hukum jika masukan atau kritikan pun dianggap sebagai penghinaan Presiden dan Pejabat Negara. Sehingga orang akan semakin takut memberikan masukan atau kritikan kepada Pemerintah terkait penanganan wabah Covid 19, jangan sampai kritikan yang dilakukan masyarakat ditafsirkan sebagai “penghinaan”.

Surat Telegram itu juga berpotensi memicu pelanggaran kemerdekaan berpendapat di depan umum, yang secara eksplisit diatur di dalam UU 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Selain itu sesuai ketentuan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945, pembatasan hak asasi manusia hanya boleh oleh undang-undang.

Untuk kasus penghinaan terhadap Presiden dan Pejabat Pemerintah, Kapolri harus merujuk pada Pasal 207 KUHP. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) si No. 013-022/PUU-IV/2006, MK dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa terkait pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa. Jadi, apabila pemerintah yang dihina tersebut tidak mengadukan kasus penghinaan ini, maka tidak dapat dipidana. Dengan demikian jelas bahwa sejak adanya putusan MK ini, maka rumusan delik Pasal 207 diubah dari jenis delik biasa menjadi delik aduan. Karena telah mengalami perubahan jenis delik, maka dapat ditafsirkan juga bahwa martabat yang dimaksudkan dalam pasal ini pun ikut mengalami perubahan, yaitu hanya pada martabat pejabat umum/penguasa  sebagai individu, bukan lagi martabat institusi (content fo personal and not content of institutional).

Melalui Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan putusan MK No. 6/PPU- V/2007 tersebut juga telah membatalkan sejumlah pasal dalam KUHP yang menyasar kepada kasus penghinaan Presiden. Seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 ayat (1) KUHP. Perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan presiden tidak lagi relevan untuk diterapkann karena dalam negara demokrasi segala kebijakan dan tindakan presiden atau pejabat pemerintahan akan selalu mendapat kritikan baik yang bersifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif, terlebih lagi saat ini kita berada dalam masa transisi pranata hukum warisan kolonial.

Jika merujuk dari putusan MK di atas, pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintahan adalah pasal yang inkonstitusional. Begitupula untuk memberlakukan pasal 207 KUHP presiden atau pejabat negara yang merasa tersinggung terhadap kritikan masyrakat harus melaporkan hal tersebut sebagai individu.

Melihat kondisi saat ini tentu saja pemerintah sebaiknya lebih mengfokuskan diri pada upaya pencegahan perluasan dampak dari virus covid-19, karena yang harusnya menjadi prioritas adalah meyelamatkan masyarakat dari seluruh dampak yang diakibatkan oleh pandemi bukan melaporkan masyarakat atas dugaan penghinaan.

Dengan adanya ST Kapolri ini justru memeperlihatkan dimana kondisi pejabat pemerintahan tidak sedang baik-baik saja secara pisikologi, hal ini membuat kondisi pemerintah menjadi sensitif terhadap isu-isu yang berkembang. Sebagai pelaksana tugas harusnya pemerintah siap menerima segala masukan dan kritikan dari masyarakat sebagai bagian dari pengawasan masyarakat terhadap kinerja Pemerintah, sepahit apapun itu.

Hadirnya kebijakan ini juga sangat bertolak belakang degan kebijakan amnesti yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020, tujuan dari asimilasi yang dikeluarkan KEMENKUMHAM adalah untuk mengurangi jumlah napi guna mengantisipasi dampak meyebarnya virus Corona atau Covid -19 di dalam lapas, hal ini berbanding terbalik dengan kebijakan yang dikeluarkan Kapolri Melaui Surat Telegram tersebut.

Untuk itu Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Idham Azis diminta mencabut Surat Telegram tersebut sesegera mungkin dan ikut fokus membantu seluruh element dalam upaya pencegahan dan penaggulangan dampak dari bencana nasional ini.

 

Oleh:
Marwan Fadhel Majid, S. H. I., M. H (Praktisi Hukum)

 



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas