OPINI

Senin, 02 September 2024 | 20:21

Ilustrasi Kotak Kosong pada Pilkada/ Sumber; Beritasenator.com

Oleh: Mulya Sarmono, S.H., M.H

Keberadaan Calon Tunggal menjadi salah satu diskursus dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2024. Kemunculannya atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menegakkan hak asasi manusia, pada perjalanannya “digunakan” oleh Oligarkh untuk meraih kekuasaan politik dengan mudah. Hal tersebut menandakan bahwa kekuasaan Oligarki bahkan setelah reformasi, masih bisa berkonsolidasi dan mempengaruhi demokrasi kembali, terutama di era desentralisasi kekuasaan daerah. Menurut Vedi R. Hadiz, lokalisasi kekuasaan sebenarnya telah memberikan peluang bagi sejumlah elite Orde Baru yang, meskipun untuk sementara, terancam oleh jatuhnya rezim otoriter, patron mereka. Namun, hal ini juga telah memberikan kesempatan baru bagi mereka untuk memposisikan diri merespons keadaan baru untuk bertahan dan menjadi dominan kembali.[1]

Pada kenyataannya, demokrasi dan oligarki pada kondisi tertentu tidak saling meniadakan, sebagaimana dinyatakan oleh Winters bahwa demokrasi merujuk pada kekuasaan politik formal tersebar berdasarkan hak, prosedur, dan tingkat partisipasi rakyat. Sementara, oligarki didefinisikan sebagai kekuasaan material terkonsentrasi berdasarkan penegakan klaim atau hak atas harta dan kekayaan. Hakikat kekuasaan politik yang diperlebar atau dipersempit selagi sistem menjadi lebih atau kurang demokratis berbeda dengan kekuasaan politik yang bisa disebar atau dihimpun secara material. Itulah mengapa demokrasi dan oligarki bisa saling cocok, asalkan kedua ranah kekuasaan itu tak saling bertabrakan. Malah demokrasi dan oligarki bisa hidup bersama terus-menerus selama kelas bawah yang tak berharta tidak menggunakan partisipasi politik mereka yang lebih luas untuk merebut kekuasaan material dan hak istimewa kelas terkaya.[2]

Contoh kongkrit pernyataan di atas, dapat kita temukan pada pemilihan Calon Tunggal di berbagai daerah melawan Kolom Kosong. Berawal dari pemenuhan hak untuk dipilih, aturan yang sebelumnya tidak mengakomodir adanya calon tunggal, oleh MK kemudian diwujudkan demi menjaga demokrasi agar tetap berlanjut sebagaimana mestinya serta menjamin hak konstitusional warga negara.[3] Saluran baru tersebut kemudian tetap mengakomodir setiap daerah untuk melaksanakan Pilkadanya sesuai jadwal, meski hanya terdiri dari satu pasangan calon. Pada tahun 2015, dari Pilkada di 32 (tiga puluh dua) provinsi dan 259 (dua ratus lima puluh sembilan) kabupaten/kota, terdapat 3 (tiga) daerah yang hanya terdiri dari satu pasangan calon, yaitu Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT), Blitar (Jawa Timur) serta Tasikmalaya (Jawa Barat).[4] Pada tahun 2017, Pemilihan Kepala Daerah akan dilaksanakan di 101 (seratus satu) wilayah dengan rincian, 7 (tujuh) provinsi, 18 (delapan belas) kota dan 76 (tujuh puluh enam) kabupaten.[5] Jumlah Calon Tunggal pada tahun itu bertambah menjadi 9 (sembilan) calon. Adapun daerah tersebut yaitu, Tebing Tinggi, Tulang Bawang Barat, Pati, Buton, Landak, Maluku Tengah, Tambrauw, Kota Sorong dan Jayapura.[6]

Di tahun 2018, Pilkada dilaksanakan di 171 (seratus tujuh puluh satu) wilayah dengan rincian, pada tingkat provinsi berjumlah 17 (tujuh belas) daerah, 39 (tiga puluh sembilan) di wilayah kota serta pemilihan di kabupaten berjumlah 115 (seratus lima belas) daerah. Adapun daerah yang hanya terdiri dari satu pasangan calon berjumlah 16 (enam belas) wilayah yang terdiri dari, Deli Serdang, Minahasa Tengah, Padang Lawas Utara, Enrekang, Kota Prabumulih, Kota Makassar, Pasuruan, Mamasa, Lebak, Mamberamo Tengah, Tangerang, Puncak, Kota Tangerang, Jayawijaya, Tapin dan Bone.[7] Di tahun 2020 terdapat 270 (dua ratus tujuh puluh) wilayah pemilihan yang meliputi 9 (sembilan) provinsi, 224 (dua ratus dua puluh empat) kabupaten serta 37 (tiga puluh tujuh) kota.[8] Jumlah Calon Tunggal berada di 25 daerah dengan rincian, Humbang Hasundutan, Kota Gunung Sitoli, Kota Pematangsiantar, Pasaman, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Selatan, Bengkulu Utara, Boyolali, Grobogan, Kebumen, Kota Semarang, Sragen, Wonosobo, Kediri, Ngawi, Badung, Sumbawa Barat, Kota Balikpapan, Kutai Kartanegara, Gowa, Soppeng, Mamuju Tengah, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak serta Raja Ampat.[9]

Lahirnya Calon Tunggal telah membelah serta menyederhanakan masyarakat, yaitu antara Calon Tunggal serta berbagai kroninya, baik itu partai politik maupun para oligarkh, dengan masyarakat pada umumnya di luar dari kekuasaan. Sama halnya Karl Marx dan Engels yang menganalisis mengenai penyederhanaan kelas pada era borjuis modern dengan menyatakan bahwa zaman borjuasi telah menyederhanakan pertentangan-pertentangan kelas. Masyarakat seluruhnya semakin lama semakin terpecah menjadi dua golongan besar yang langsung berhadapan satu dengan yang lain – borjuasi dan proletariat.[10]

Sebagai kelas yang tertindas, maka aktor yang bisa menjadi agensi perubahan yang bisa memberikan kekuatan perimbangan kepada borjuasi, demi membebaskan dirinya sendiri dari penghisapan menurut Karl Marx dan Engels, yaitu kelas buruh. Karl Marx dan Engels menyatakan bahwa dengan berkembangnya industri, proletariat tidak saja bertambah jumlahnya; ia menjadi terkonsentrasi di dalam massa yang lebih besar, kekuatannya bertambah besar dan ia semakin merasakan kekuatan itu. Kepentingan-kepentingan dan syarat-syarat hidup yang bermacam ragam di dalam barisan proletariat semakin lama semakin menjadi sama, sederajat dengan dihapuskannya segala perbedaan kerja oleh mesin-mesin dan dengan diturunkannya upah hampir di mana-mana sampai pada tingkat yang sama rendahnya. Persaingan yang semakin menjadi di kalangan kaum borjuis dan krisis-krisis perdagangan yang diakibatkannya, menyebabkan upah kaum buruh senantiasa berguncang. Perbaikan mesin-mesin yang tidak henti-hentinya itu senantiasa berkembang dengan lebih cepat, menyebabkan penghidupan mereka makin lama makin tidak tentu; bentrokan-bentrokan antara buruh orang-seorang dengan borjuis orang-seorang makin lama makin bersifat bentrokan-bentrokan antara dua kelas.[11]

(Bersambung..........)

 

Baca Juga;

https://sulbarkita.com/melawan_oligarki_calon_tunggal_catatan_perjuangan_pemilih_kolom_kosong_di_indonesia_part_i_berita1258.html

 

[1] Vedi R. Hadiz, Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia Pascaotoritarianisme, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2022), 225-226.

[2] Jeffrey A. Winters, Oligarki, Terj. Zia Anshor, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), 16.

[3] Selengkapnya, lihat Putusan MK RI No. 100/PUU-XIII/2015 tertanggal 28 September 2015.

[4] Joko Panji Sasongko, Pilkada Tiga Daerah dengan Calon Tunggal Dinilai Lancar, (cnnindonesia.com), 10 Desember 2015, diakses pada 14 Agustus 2024. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151210133536-32-97294/pilkada-tiga-daerah-dengan-calon-tunggal-dinilai-lancar.

[5] Bagus Prihantoro Nugroho, Ini Data 7 Provinsi, 18 Kota, dan 76 Kabupaten di Pilkada 2017, (detik.com), 13 Februari 2017, diakses pada 14 Agustus 2024. https://news.detik.com/berita/d-3421244/ini-data-7-provinsi-18-kota-dan-76-kabupaten-di-pilkada-2017/1.

[6] Danang Firmanto, 9 Daerah ini Hanya Punya Calon Tunggal dalam Pilkada 2017, (tempo.co), 7 Februari 2017, diakses pada 14 Agustus 2024. https://pilkada.tempo.co/read/844005/9-daerah-ini-hanya-punya-calon-tunggal-dalam-pilkada-2017.

[7] Muhammad Ridwan, Pilkada Serentak 2018: Ada 16 Calon Tunggal, Jumlah Paslon & Pemilih, (bisnis.com), 26 Juni 2018, diakses pada 14 Agustus 2024. https://kabar24.bisnis.com/read/20180626/15/809737/pilkada-serentak-2018-ada-16-calon-tunggal-jumlah-paslon-pemilih.

[8] Nur Rohmi Aida dan Sari Hardiyanto, Berikut Daftar 270 Daerah yang Gelar Pilkada Serentak 9 Desember 2020, (kompas.com), 05 Desember 2020, diakses pada 14 Agustus 2024. https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/05/193100165/berikut-daftar-270-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-9-desember-2020?page=all.

[9] Ahmad Faiz Ibnu Sani, Ini 25 Calon Tunggal Kepala Daerah di Pilkada 2020, (tempo.co), 14 September 2020, diakses pada 14 Agustus 2024. https://pilkada.tempo.co/read/1386023/ini-25-calon-tunggal-kepala-daerah-di-pilkada-2020.

[10] Karl Marx Frederick Engels, Manifesto Partai Komunis, (E-book pdf: ECONARCH Institute, 2009), 2. https://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2013/09/marx-engels-manifesto-partai-komunis.pdf.

[11] Ibid., 12-13.



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas