OPINI

Minggu, 08 September 2024 | 11:35

Ilustrasi Kotak Kosong pada Pilkada/ Sumber; Prokal.co

Oleh: Mulya Sarmono, S.H., M.H

Pada konteks Oligarki, kelompok yang tertindas tidak hanya kelas pekerja tetapi jauh dari itu, menyentuh setiap dari kita yang berada di luar kekuasaan. Robertus Robet menyatakan, kita menemukan fakta penting bahwa di satu sisi, jelas terbukti bahwa kaum oligarkh selain berposisi sebagai kelas pemodal di dalam relasi produksi kapitalis, juga melakukan penarikan langsung maupun tidak langsung pelbagai keuntungan material melalui jabatan-jabatan politik yang mereka pegang. Sebagai kelas pemodal, oligarkh jelas melakukan penarikan nilai-lebih terhadap kelas pekerja, tetapi lebih dari itu, sebagai oligarkh ia juga memperluas objek penarikan keuntungannya dari negara dan dunia politik.[12] Lebih lanjut, Ia menyatakan bahwa logika dasar Oligarki adalah pemusatan ekonomi-politik ke segelintir orang yang saling berbagi atau berkonsentrasi demi perluasan keduanya. Logika ini bertentangan dengan prinsip dasar dari demokrasi yang menekankan pemerintahan oleh demos, dan prinsip politik bahwa politik diadakan sebagai cara untuk memenuhi harapan publik. Dengan demikian, semakin kuat oligarki, semakin lemah demos. Semakin luas kekuasaan negara terbagi-bagi ke tangan oligarki, semakin kecil kekuasaan demos atas politik. Dengan mencaplok negara dan meleburkannya ke dalam praktik bisnis, Oligarkh meniadakan demos dalam politik.[13]

Pada akhirnya, keadaan di negara demokrasi di mana oligarki juga menjadi bagian yang hidup di dalamnya, sebenarnya tidaklah benar-benar demokratis. Ia pada dasarnya memberikan kebebasan dan kesetaraan yang semu, tetapi sebenarnya menciptakan sistem predatoris yang menarik keuntungan di semua lini kehidupan bernegara. Pada akhirnya, korbannya adalah demos atau diartikan sebagai setiap dari diri kita yang menderita dan tertindas di bawah sistem kapitalisme. Maka dari itu, agen perubahan yang bisa membebaskan dirinya sendiri dalam sistem oligarki adalah demos itu sendiri. Perlawanan yang dilakukan pun harus dengan melampaui berbagai jenis gerakan yang saat ini telah dilakukan. Mengingat pula, strategi massa saat ini memiliki banyak varian serta saluran. Tak hanya memobilisasi massa dan turun ke jalan, atau melakukan gugatan-gugatan hukum, perlawanan juga telah dilakukan melalui internet. Menurut Merlyna Lim, dalam sejarah politik Indonesia, internet telah berperan sebagai “ruang masyarakat sipil” di mana individu dan kelompok menghasilkan aktivisme kolektif secara online dan menerjemahkannya ke dalam gerakan dunia nyata dalam pengaturan offline.[14]

 

Baca Juga;

https://sulbarkita.com/melawan_oligarki_calon_tunggal_catatan_perjuangan_pemilih_kolom_kosong_di_indonesia_part_i_berita1258.html

 

Pada konteks Calon Tunggal yang proses pemilihannya terkadang janggal, tak jarang juga memunculkan perlawanan. Masyarakat dari berbagai lapisan mengorganisir diri dan mengkampanyekan agar orang-orang memilih tidak setuju atau Kolom Kosong daripada pasangan calon yang ada. Perlawanan tersebut di beberapa daerah cukup efektif, baik itu melalui kampanye di media sosial, ajakan lewat dunia nyata maupun dengan proses hukum, namun persentase kemenangannya tetap lebih rendah. Reaksi tersebut menjadi suatu konsekuensi yang logis apabila terjadi ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat. Kita dapat melihat misalnya pada pemilihan serentak di tahun 2015, meskipun Kolom Kosong saat itu belum dikenal karena pemilih hanya dihadapkan pada pilihan “Setuju” atau “Tidak Setuju” pada Calon Tunggal yang ada, bukan berarti tidak ada perlawanan. Salah satunya pada pemilihan di Kabupaten Tasikmalaya yang hanya diikuti oleh pasangan calon Uu Ruzhanul Ulum dan Ade Sugianto. Mereka harus berhadapan dengan gerakan yang dimotori partai politik tertentu dengan membentuk komunitas yang menganjurkan agar masyarakat memilih “Tidak Setuju”. Mereka menamai diri sebagai kelompok Romantis atau Rombongan Masyarakat Tidak Setuju sebagai bentuk perlawanan terhadap Calon Tunggal.[15]

Pada pemilihan serentak tahun 2017 yang saat itu telah mengenal istilah Kolom Kosong, juga terjadi dinamika perlawanan terhadap Calon Tunggal. Perlawanan itu terjadi pada pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pasangan Calon Tunggal, yaitu Haryanto dan Saiful Arifin harus berhadapan dengan salah satunya, para relawan yang menamakan diri sebagai Aliansi Kawal Demokrasi Pilkada (AKDP) Pati. Aliansi tersebut giat mengkampanyekan agar masyarakat memilih Kolom Kosong ketimbang calon yang ada.[16] Pada tahun 2018, perlawanan masyarakat yang mengkampanyekan Kolom Kosong juga terjadi di Makassar. Pasangan Calon Munafri Arifuddin dan Rahmatika Dewi sebagai Calon Tunggal pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar harus berhadapan dengan, salah satunya, kelompok masyarakat yang menamakan diri sebagai Relawan Kolom Kosong atau disingkat REWAKO. Relawan tersebut aktif mengkampanyekan agar masyarakat memilih Kolom Kosong, baik itu melalui aksi massa maupun kampanye di media sosial.[17] Perlawanan ini kemudian membuahkan hasil, pemilih Calon Tunggal lebih sedikit dan Kolom Kosong dinyatakan menang.[18]

Pemilihan di tahun 2020 juga demikian, perlawanan terhadap Calon Tunggal juga terjadi, salah satunya pada pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara. Saat itu, pasangan Calon Tunggal atas nama Edi Damansyah dan Rendi Solihin berhadapan dengan relawan yang mengatasnamakan diri sebagai Barisan Kolom Kosong Kukar atau disingkat BEKOKOR. Para relawan yang tergabung dalam berbagai lapisan masyarakat aktif menggerakkan masyarakat untuk memilih Kolom Kosong serta melawan dengan cara aksi massa, kampanye di media sosial dan melalui proses hukum.[19] Adanya gerakan tersebut menjadi pertanda perlawanan rakyat, meskipun terkadang sayup, di dunia politik tetap masih ada. Sedang, Oligarki yang mempunyai kuasa dalam menentukan jalannya proses politik, perjalanannya tidak serta merta menjadi mulus. Perlawanan rakyat sebagai demos menjadi senjata utama untuk memberikan perimbangan kekuatan kepada Oligarki di ranah politik lokal, sehingga demokrasi secara ideal dapat dicapai sedikit demi sedikit.

 

[12] Robertus Robet  dalam Abdil Mughis Mudhoffir dan Coen Husain Pontoh (editor), Oligarki: Teori dan Kritik, (Tangerang: CV Marjin Kiri, 2020), 185-186.

[13] Ibid., 187-188.

[14] Merlyna Lim, Cyber-urban Activism and Political Change in Indonesia, Eastbound, Vol. 1, No. 1, 2006, 1-19, sebagaimana dikutip dalam Marlyna Lim, Banyak Klik Tapi Sedikit Pemantik: Aktivisme Sosial Media di Indonesia, dalam Wijayanto, Aisah Putri Budiatri dan Herlambang P. Wiratraman (Editor), Demokrasi Tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial Politik Tentang Kemunduran Demokrasi di Indonesia, (Depok: LP3ES, 2021), 273.

[15] Heyder Affan, Polemik Pilkada Calon Tunggal di Kabupaten Tasikmalaya, (bbc.com), 05 Desember 2015, diakses pada 14 Agustus 2024. https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151204_indonesia_pilkada_calontunggal.

[16] Addi M. Idom, Meski Kalah, Suara Kotak Kosong Signifikan di Pati, (tirto.id), 17 Februari 2017, diakses pada 14 Agustus 2024. https://tirto.id/meski-kalah-suara-kotak-kosong-signifikan-di-pati-cjgA.

[17] Budi Warsito, Relawan Kotak Kosong, Ramaikan Pilwali Makassar, (jawapos.com), 05 Juni 2018, diakses pada 14 Agustus 2024. https://www.jawapos.com/pemilihan/0148633/relawan-kotak-kosong-ramaikan-pilwali-makassar.

[18] Muhammad Taufiqurrahman, Pertama di Indonesia! Kotak Kosong Menang Pilkada, (news.detik.com), 27 Desember 2018, diakses pada 14 Agustus 2024. https://news.detik.com/berita/d-4360870/pertama-di-indonesia-kotak-kosong-menang-pilkada.

[19] Mrf/qn, Kolom Kosong Disambut Positif Masyarakat Kukar, (nomorsatukaltim.disway.id), 03 November 2020, diakses pada 14 Agustus 2024. https://nomorsatukaltim.disway.id/read/15330/kolom-kosong-disambut-positif-masyarakat-kukar.



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas