Sulbarkita.com—Perjuangan melawan kolonial Belanda turut mewarnai sejarah panjang di Sulawesi Barat. Perjuangan ini dimulai sejak zaman kerajaan, ketika Belanda hendak memasang cengkraman kekuasaannya dalam memonopoli pedagangan rempah-rempah yang ada di sana.
Salah satu yang cukup terkenal adalah perjuangan Mara'dia Balanipa bernama Tokape yang jejak sejarahnya mulai terekam sejak 1860-an atau sekitar 160 tahun yang lampau. Lantaran tidak mau tunduk pada Belanda, ia terpaksa diasingkan ke Pacitan, Jawa Timur, hingga akhir hayatnya.
Kendati demikian, Tokape adalah sosok yang diakui perlawanannya oleh Belanda. Dalam Political Contestation: Political Elite Contestation Of Balanipa Kingdom And Netherland Colonial Government In 1870-1905 karya Abd. Karim, Gubernur Celebes J.L.Couvreur mengatakan perlawanan yang dipimpin oleh Tokepe merupakan perlawanan terbesar ke-5 rakyat Mandar terhadap Belanda (2017:7).
Pada momen 17 Agustus ini, Sulbarkita.com berusaha kembali menggali fragmen asal usul beliau hingga perjuangannya melawan penjajah, melalui kajian literatur dari berbagai hasil penelitian di dalam maupun di luar negeri.
Dalam bahasa Mandar, Kape berarti tangannya lumpuh. Namun, perlu penelitian lebih mendalam apakah nama tersebut menggambarkan kondisi tubuh Mara'dia Tokape atau hanya gelar semata. Yang pasti, Mara'dia Tokape disebut sebagai raja ke-46 Balanipa (Karim, 2017:6).
Dalam sebuah penelitian berjudul Konflik Mandar Dengan Belanda Pada 1862 karya Muhammad Amir, Tokape disebut saudara dari Mara'dia Matoa bernama Tokeppa alias Baso Saunang. Mereka adalah anak dari Mara’dia Balanipa Ammana I Yangge Tomatindo Di Lekopadis (2017:244).
Tokape mulanya menjabat sebagai panglima perang Balanipa atau disebut Mara'dia Malolo, di bawah kekuasaan Mara’dia Ammana Ibali. Ammana Ibali-lah yang menggantikan ayah Tokape sebagai raja lantaran sang pemimpin kerajaan wafat pada 1851. Ammana Ibali sendiri adalah saudara Amanaa I Yangge. Sehingga Tokape dan Ibali memiliki hubungan darah sebagai keponakan dan paman.
Sekitar 1861, Tokape kemudian digeser menjadi Mara'dia Matoa menggantikan Tokeppa, saudaranya, yang dipecat oleh Ammana Ibali lantaran dianggap membangkang (Muhammad Amir, 2017:244). Menurut Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulawesi Barat (Sulbar) Darmansyah, dalam Pesona Cakkuriri Bukanlah Ritual Adat, Mara'dia Matoa adalah jabatan yang setara dengan koordiantor Urusan Pemerintahan di dalam dan di luar istana Kerajaan (Mandarnesia.com,2017).
Pengangkatan Tokape sebagai Mara'dia Matoa tak lepas dari harapan Ammana Ibali agar urusan pemerintahan kembali berjalan mulus setelah diwarnai konflik politik saat dijabat oleh Tokeppa. Hal itu lantaran Tokeppa tidak senang dengan sikap Ammana Ibali yang bersekutu dengan Belanda. Apalagi Ibali menandatangani kontrak politik yang merugikan Balanipa karena berisi monopoli perdagangan oleh Belanda. Sehingga Tokeppa kerap berupaya mengkudeta sang paman dari singgasana raja.
Namun harapan tinggal harapan. Setali tiga uang dengan Tokeppa, Mara'dia Matoa Tokape juga diam-diam ikut mendukung perlawanan terhadap Mara'dia Ammana Ibali dan Belanda (Muhammad Amir, 2017:244). Skripsi berjudul Perjuangan Rakyat Mandar Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 1945-1950 karya Marsupian menyebutkan perlawanan Tokape memuncak pada 1870 ketika I Mandawari naik tahta menjadi Mara'dia Balanipa menggantikan Ammana Ibali (2017:27).
I Mandawari dalam Ketuanan Bajak Laut Suku Mandar di Laut Celebes dan Reaksi Kolonial Belanda Pada Abad Ke-19 oleh Ali Ismail disebut sebagai anak kandung dari Mara’dia Ammana Ibali dan merupakan saudara dari Mara'dia Majene Mararabali (2014: 348). Artinya, I Mandawari adalah sepupu Tokape.
Baca juga:
TOKOH Kisah Syekh Abdurrahim, To Salama Penyebar Islam Pertama di Sulbar
Menelusuri Jejak Penyebaran Islam di Majene
Andi Depu, Kartini Pemberani dari Sulbar
Perlawanan Mara'dia Matoa Tokape mendapat angin segar lantaran, I Mandawari tidak terlalu disenangi kalangan Kerajaan Balanipa lantaran mengikuti jejak ayahnya mendukung pemerintahan Belanda. Ia juga disebut gemar memadat candu, sehingga urusan pemerintahan terabaikan (Marsupian, 2017:27). Sehingga akhirnya Tokape berhasil menggulingkan kekuasaan I Mandawari pada 1872 dan kemudian merebut tahta kerajaan.
Kabar penggulingan I Mandawari sampai ke telinga Gubernur Celebes J.L.Couvreur. Belanda semakin panas lantaran Tokape dalam memimpin Kerajaan Balanipa abai terhadap kontrak politik dengan Belanda. Salah satunya dengan menolak menjual hasil bumi berupa kopra dan sutra dari rakyat Mandar ke Belanda.
Tokape malah memilih bersekutu dengan pedagang-pedangan Makassar, Surabaya, dan Tumasik (Singapura) (Kumparan.com,2020). Bahkan dalam tulisan Adi Arwan Alimin berjudul Di Pacitan, Tokape Bergelar Ki Ahmad Yahya Tokape berani mengirimkan 50 ton kopra dan 5000 sarung sutera dengan stempel kerajaan Balanipa ke Tumasik (Jurnalwarga.net,2020).
Kendati demikian, Kerajaan Balanipa di bawah kendali Tokape disebut aman dan makmur. Bahkan dalam sebuah lontaraq tercatat bahwa di bawah kepemimpinan Raja Balanipa Tokape tidak akan terjadi pencurian di Balanipa, kendati pintu rumah tidak tertutup (Abd. Karim, 2018:6).
Peristiwa perompakan juga semakin ganas di laut Mandar terhadap pedangang-pedagang yang bersekutu dengan Belanda. Sehingga Gubernur Celebes kemudian memberi peringatan kepada Tokape melalui surat (Muhammad Amir, 2017:245). Namun hal tersebut diabaikan Tokape.
Pada November 1867, Gubernur Celebes mengutus armada tentara Belanda ke Balanipa. Armada tersebut dipimpin oleh Letnan Kolonel van Daalen (Muhammad Amir, 2017:245). Dia dikenal komandan Belanda yang cukup kejam dan kerap memimpin pasukan untuk mengatasi perlawanan di Tanah Air. Ia juga terlibat dalam Perang Aceh yang menewaskan 2.902 orang pada Juni 1904 (Tirto.id, 2018).
Dalam sebuah lontaraq digambarkan bagaimana tentara Belanda mengepung Kerajaan Balanipa dengan menyandarkan tiga kapal perangnya di sejumlah pelabuhan yang dekat dengan akses ke Kerajaan. Berikut petikannya:
“Sebuah kapal berlabuh di Ba'bana, sebuah di jurusan Marica, dan sebuah di jurusan Manjopai', Pagi-pagi benar naik sekoci ke Mara'dia, turun memanggul senapan. Kemudian mereka kembali ke kapal, ribuan uang diminta, setelah uang cukup diantarkanlah oleh nenek Hamang ke kapal. Penuh sesak sampan besar yang memuat uang ringgit dan rupiah. Sebelum sampai nenek Hamang ke kapal, ia diperintahkan putang. Begitu balik nenek Hamang, berdentumanlah tembakan meriam. Orang Tannga-Tannga menyingkir ke Lambanan. Keesokan harinya terjadi pembakaran Balanipa. Bergumpal asap di Tannga-tannga, Manjopai', Karama, Lambe, dan Da'ala. Pambusuang tidak turut dibakar karena mengibarkan bendera putih. Sesudah menembaki dan membakar seluruh Manjopai' sampai Parang, mereka menuju ke Banggae, Mara'dia Banggae melarikan diri ke Pua'abang. Berkata Mara'dra Banggae "semoga saya tidak bertemu Belanda". Istana kosong dan langsung dibakar. Hanya istana mara'dia yang dibakar" (Ismail Ali, 2014: 349).
Kendati demikian, tidak berarti Tokape langsung menyerah. Ia melakukan perlawanan sengit yang cukup merepotkan Belanda. Salah satunya adalah menghadang Belanda menggunakan pasukan kerajaan sekutu dari Karaeng Bonto-Bonto di Segeri, Pangkep dan Kerajaan Sidenreng.
Ketika kapal Belanda berhasil sandar di pelabuhan Kerajaan Balanipa, Mara’dia Tokape juga mengerahkan pasukan yang dilengkapi dengan senapan membalas tembakan di sepanjang Pantai Balanipa. Namun karena kurangnya persenjataan yang memadai, sehingga Mara’dia Tokape bersama pasukannya mundur ke daerah pedalaman Allu dan Taramanu.
Kendati berhasil menguasai Balanipa, tentara Belanda tak menemukan Mara’dia Tokape. Baru memasuki pertengahan 1873, Mara’dia Tokape akhirnya berhasil ditangkap dan kemudian diasingkan ke Pacitan, Jawa Timur. Di sanalah dia menjalani sisa hidupnya (Marsupian, 2017:27).
Menurut Adi Arwan Alimin, Tokape kemudian bergabung dengan Kerajaan Pajajaran yang ditandai pernikahannya dengan seorang putri bangsawan Pajajaran bernama Raden Ayu Ningsih. Tokape juga punya gelar baru di Pajajaran yakni Ki Ahmad Yahya.
Makam Tokape hingga kini masih terawat baik di makam Kucur, Barehan, Kelurahan Sidoharjo, Pacitan. Pada Minggu 9 Februari 2020, Gubernur Sulbar Ali Baal Masdar sempat mengunjungi makam Tokape. “Kunjungan itu dalam rangka penelusuran jejak Mara'dia Tokape yang makamnya berada di Pacitan,” tulis humas Pemprov Sulbar. “Beliau adalah salah satu pejuang dari Mandar yang diasingkan ke Pacitan karena melawan Belanda.”
Makam Mara'dia Tokape di Pacitan/sumber: Pemprov Sulbar
Sementara perjuangan Tokape di Balanipa tidak redup begitu saja. I Mandawari yang kemudian kembali diangkat Belanda sebagai mara’dia tidak bisa berbuat banyak lantaran masyarakat yang kebanyakan para pengikut Tokape menolak tunduk pada kebijakannya. Sehingga pada akhirnya I Mandawari tak mampu mempertahankan kekuasaan di bawah tekanan dewan adat sekitar 1880 (Abd. Karim, 2018:8). Ia kemudian meninggalkan Balanipa dan menuju Campalagian untuk mengungsi. Perjuangan Tokape kemudian dilanjutkan salah satu putranya yaitu Tammanganro, Parumasi, dan Simanangi yang mendukung Ammana I Wewang yang melakukan perlawanan terhadap Belanda (Marsupian, 2017:27).
TRI S
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar