OPINI

Rabu, 24 Oktober 2018 | 07:51

Ilustrasi/cebudailynews.inquirer.net

Hujan pertama di musim kemarau yang panjang tiba-tiba turun dengan derasnya membasahi pekarangan Kantor Desa Limbua, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Jumat 12 Oktober 2018.

Kendati hujan memicu udara segar, suasana di dalam kantor Desa Limbua justru menghangat. Itu lantaran terdapat pertemuan yang difasilitasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Majene antara seseorang yang bergelar bangsawan dengan puluhan warga di lingkungan tersebut.

Sang bangsawan menggungat warga ke BPN dengan klaim sebagai pemilik tanah yang warga sedang tempati. Namun sayangnya dalih itu tak disertai dengan bukti sertifikat yang dimaksud. Sang bangsawan hanya membawa seorang saksi dari kalangan keluarga mereka sendiri. Serta fotocopy sertifikat tanah milik PLN Kecamatan Sendana.

Sementara masyarakat di lingkungan tersebut sudah mengantongi sertifikat resmi dari BPN. Dokumen itu diperoleh warga berdasarkan sejarah perolehan tanah sampai alas hak yang sudah sesuai aturan. Wajar bila warga berang atas sanggahan sang bangsawan.

Si bangsawan dinilai hanya ingin menguasai lahan milik warga untuk menjadi seorang feodal. Dalam kamus Ilmiah Populer oleh Windy Novia, S.Pd, penguasa tanah atau daerah atau wilayah, disebut sebagai feodal. Sebab sifat mereka adalah hendak menguasai/menindas kaum yang lemah melalui penguasaan tanah.

Dalam Pasal 1865 KUH Perdata berbunyi: “Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”.

Pasal tersebut diperkuat asas hukum sebagaimana dalam buku Kumpulan Asas-Asas Hukum oleh Dr. Amir Ilyas, SH.,MH dan Muhammad Nursal, SH yang menuliskan asas hukum yang berbunyi: “Actori in cambit probation”, yang artinya siapa yang mengaku sebagai haknya maka dialah yang wajib membuktikannya. Artinya bahwa, apabila seorang mengklaim tanah sebagai haknya, mereka yang wajib membuktikannya secara jelas.

Bila ditarik dalam kasus di Lakkading, si bangwasan tersebut lah yang pertama harus membuktikan klaim mereka. Adapun warga perannya adalah membantah dan membuktikan bantahan mereka. Bukan sebaliknya, warga yang diminta menunjukkan surat kepemilikan tanahnya.

Si bangsawan juga harus memenuhi unsur saksi. Dalam hukum perdata, kita mengenal asas “Unus Testis Nullus Testis”, yang berarti satu saksi bukan saksi. Dalam buku Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata yang ditulis oleh Prof. Dr. Achmad Ali, SH.,MH dan Dr. Wiwie Heryani, SH.,MH menyatakan jika hanya ada satu kesaksian, maka tidak boleh diterima sebagai alat bukti(evidence).

Berdasarkan kasus tersebut, sangatlah wajar jika warga menolak klaim dari si bangwasan tadi. Juga sangatlah wajar jika mereka mempertahankan tanah yang mereka tempati. “Mempertahankan tanah ini adalah harga mati,” ujar salah satu dari warga dalam pertemuan tersebut.

Hujan tetap turun dengan derasnya. Tanpa jeda, tanpa henti. Pihak BPN Majene yang ingin melihat langsung tanah yang diklaim urung terlaksana. Pihak pengklaim juga sudah meninggalkan pertemuan. Seakan, alam turut mendukung perjuangan warga atas tanahnya.

Praktisi Hukum
Mulya Sarmono SH



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas