Pada 2014, saya berkersempatan ke Aceh untuk meliput peringatan gempa dan tsunami. Sepuluh tahun pasca tsunami 2004, tanda-tanda bahwa daerah itu pernah dilanda bencana mahadahsyat nyaris lenyap ditelan pembangunan.
Berbeda dengan ingatan masyarakatnya yang masih segar tentang bencana tersebut. Salah satunya cerita soal pulau padat penduduk bernama Simeulue, pulau ini berjarak 150 km dari lepas pantai barat kota Serambi Mekah.
Sama seperti wilayah lainnya di Aceh pada 2004, seluruh bangunan di pulau itu luluh lantak diterjang gempa dan tsunami. Namun yang mengherankan, wilayah ini tak seperti kuburan massal laiknya daerah lainnya di Aceh. Sebanyak enam orang penduduk Simeulue tewas. Sadangkan ribuan lainnya mampu menyelamatkan diri ke dataran tinggi.
Setelah diselidiki, ternyata masyarakat di Pulau Simeulue sudah tanggap bencana secara alami. Itu lantaran mereka memiliki kearifan lokal sebagai alarm bencana tsunami dan gempa. Maklum daerah ini pernah diterjang bencana tersebut pada 1907.
Bencana yang menelan ribuan korban masyarakat Simeulue itu menjelma menjadi kearifan lokal bernama Smong. Smong atau tsunami menjadi syair yang kerap dinyanyikan para ibu Simeulue ketika hendak menidurkan anaknya. Semacam lagu nina bobo. Salah satu potongan syairnya adalah:
Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)
Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)
Maheya mihawali…(Segeralah cari)
Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)
Di Aceh, saya membahas kearifan lokal tersebut dengan sejumlah ahli gempa dan tsunami. Menurut salah satu dari mereka, bukan cuma Aceh yang memiliki kearifan lokal demikian. Sejumlah daerah pesisir yang pernah dilanda tsunami juga memiliki mitigasi bencana tradisional. Dia menyebut salah satunya di Mandar, Sulawesi Barat.
Saya sebagai orang Mandar terhenyak mendengar informasi tersebut. Sebab informasi itu tak saya dapatkan di kampung saya sendiri, tapi di daerah nun jauh di sana.
Menurut sang ahli, tsunami di Mandar dikenal dengan sebutan Lembong Tallu (ombak tinggi belasan meter bergulung tiga). Istilah itu terdapat dalam budaya tutur masyarakat Mandar, baik lewat sajak/kalindaqdaq, mitos-mitos tokoh Mandar, serta lewat pappasang atau pesan-pesan orang tua.
Sajak atau kalindaqdaq yang menyinggung Lembong Tallu di antaranya adalah: Maui pole lembong tallu sitonda talippurus, sumombal toa’ ma’itai dalle’ iya hallal. (Meski datang ombak gulung-gemulung seiring putting beliung, ku akan tetap berlayar mencari rezeki yang halal)
Pukkali Malunda atau KH Muhammad Husein, adalah ulama di Kecamatan Malunda, Majene yang mempunyai mitos soal Lembong Tallu. Konon beliau pernah mencegah Lembong Tallu dengan hanya mengibaskan bajunya di tepi pantai Malunda (Munir, Muhammad. 2017:413).
Sementara pappasang soal Lembong Tallu kerap disampaikan orang tua kepada anak maupun cucunya ketika hendak berenang di laut. Nenek saya termasuk. Beliau sering bilang : Pemmanya-manyao. Diang bo’a Lembong Lallu, (Hati-hati jangan sampai ada Lembong Tallu).
Sayangnya kearifan lokal itu lambat laun punah di masyarakat Sulbar khususnya Mandar. Saya hampir tak mendegar lagi hikayat-hikayat soal Lembong Tallu saat ini. Padahal kearifan lokal ini sejatinya jawaban atas minimnya teknologi bencana alam di Sulbar.
Kita harusnya menegok Jepang yang notabene negara maju tapi memanfaatkan kearifan lokalnya untuk mitigasi bencana. Jepang yang kerap dilanda gempa dan tsunami melihat potensi bencana dari tanda-tanda alam seperti awan. Kearifan lokal itu kemudian masuk ke kurikulum sekolah sehingga menjelma menjadi analisa ilmiah.
Pemerintah Sulbar diharapkan tanggap terhadap adat budaya masyarakatnya sendiri. Kearifan lokal Lembong Tallu seharusnya menjadi pegangan dalam mitigasi bencana. Sehingga, menciptakan masyarakat yang tanggap bencana secara alami. Dan tak lagi kehabisan energi menghalau hoaks soal tsunami.
TS Muzkaka
Wartawan
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar