Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya pasien positif menderita virus Corona (COVID-19) di Indonesia pada Senin, 2 Maret 2020, negeri ini terasa mulai mencekam. Di mana-mana kabar terkait Corona menjadi topik utama. Tak hanya di media massa, tetapi juga di jagat media sosial.
Bahkan kengerian soal Corona yang sesungguhnya banyak lahir dari tarian jempol orang tak bertanggung jawab di media sosial. Mereka dengan kesadaran yang rendah menyebar teror melalui tulisan maupun gambar yang penuh kebohongan. Merangkai informasi ngawur dengan kalimat bombastis dan atraktif, demi menghasilkan konten yang viral. Menjadi alat pansos (panjat sosial). Suatu kepuasan semu yang dipicu oleh riuhnya penghuni dunia maya.
Celakanya, masyarakat dengan mudahnya ditipu oleh informasi dan kabar bodong tersebut. Secara instan percaya. Bahkan kemudian menjadi “agen penyebar kebohongan” dengan ikut sharing atau membagikan informasi kaprah tersebut melalui akun media sosialnya. Tanpa menyaring pesan itu lebih dulu, atau mencari tahu kebenarannya.
Idealnya, media sosial menjadi penguat konsep warganet (khalayak) yang aktif. Sebuah konsep di mana masyarakat memilah pesan yang dia butuhkan, dan melahirkan perilaku selektif terhadap pesan tersebut (West dan Turner, 2014: 107). Namun pada akhirnya, perilaku tak mawas diri di media sosial maupun aplikasi obrol seperti Whatsapp justru membuat banyak orang terperosok menjadi warganet pasif.
Konsep khalayak pasif dalam tradisi ilmu komunikasi dijelaskan dengan teori klasik hipodermik atau jarum suntik. Teori ini mengasumsikan masyarakat tidak berdaya menerima pesan dari media. Masyarakat cenderung untuk langsung mempercayai pesan tersebut tanpa adanya proses yang disebut selektivitas, alias kemampuan untuk memilih (Badudu,2009). Sebuah proses yang mestinya membuat publik kritis dan tak mudah terpengaruh.
Di tengah pandemi Corona (COVID-19), sikap pasrah terhadap kebenaran informasi bisa berakibat fatal. Seorang kuli bangunan berinisial RM, 19 tahun, mengabarkan meninggalnya pasien pertama positif Corona di Majene lewat akun Facebooknya. Padahal pasien yang kini sudah dinyatakan sembuh itu hanya sedang menjalani isolasi. Walhasil sebagian warga Majene yang mempercayai hoaks RM itu dilanda ketakutan luar biasa. Petugas medis pun kelimpungan menjawab kecemasan masyarakat yang terus mempertanyakan kondisi pasien. Gara-gara kabar bohong itu, RM ditangkap Polres Majene pada Selasa 31 Maret 2020.
Di waktu yang hampir berdekatan, sebuah akun Facebook bernama Hujan mengabarkan tentang seorang pengidap Covid-19 yang dirawat di ruang isolasi RSUD Majene. Kontennya disertai sebuah foto. Padahal RSUD Majene beserta Gugus Tugas Covid-19 Majene menegaskan bahwa foto tersebut adalah proses penyemprotan disinfektan.
Muncul pula pesan berantai yang menyebar baik di Whatsapp, Twitter, dan Facebook mengenai larangan keluar rumah selama 3 hari karena akan ada angin yang membawa wabah penyakit pada 10-12 April 2020. Bahkan kabar soal obat Corona adalah telur rebus yang dimakan tengah malam.
Di sisi lain, ekonomi semakin melambat. Aktivitas perdagangan semakin sepi. Ditambah panic buying oleh si kaya yang mengakibatkan harga kebutuhan pokok semakin menukik. Termasuk harga telur tadi. Sementara para buruh gigit jari lantaran dirumahkan tanpa upah bahkan di-PHK.
Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan lebih dari 1,5 juta orang buruh terimbas Corona. Sebanyak 10,6% di antaranya atau sekitar 160 ribu orang dipecat, sedangkan 89,4% lainnya karena dirumahkan.
Pemerintah yang menjadi sumber utama informasi penanganan Corona juga seolah larut dalam imbauan-imbauan yang sifatnya normatif. Transparansi dan mitigasi terhadap pandemi menjadi barang langka, seperti halnya masker dan hand sanitizer. Sementara yang mengemuka adalah upaya memenjarakan para pengkritik Presiden yang akhirnya disoroti.
Kini tersisa masyarakat sendiri yang harus menuntun nasibnya. Apakah masih rela terus-menerus ditipu oleh informasi-informasi yang tidak bertanggung jawab? Atau bangkit untuk menyehatkan tubuh dengan asupan informasi yang “bergizi”? Seperti kata Erlina Burhan, dokter spesialis paru Rumah Sakit Persahabatan dalam sebuah wawancara, garda terdepan menangani virus Corona bukanlah petugas kesehatan, tapi masyarakat itu sendiri.
Redaksi
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar