Budaya

Jumat, 19 Juni 2020 | 16:21

Melattigi atau memasang pacar/hena di kuku/Ist

Tradisi melattigi dan mattunu pallang mulai lenyap di Sulbar. Pemerintah diharapkan melestarikan budaya unik ini.

Ramadan menjadi momen yang selalu ditunggu masyarakat, termasuk di Sulawesi Barat. Pada bulan suci itu tradisi-tradisi unik biasa dilakukan masyarakat Sulbar, salah satunya melattigi. Ini adalah tradisi melukis tangan hingga kuku dengan daun inai atau henna, yang sudah ditumbuk halus. Kearifan lokal ini banyak dilakukan oleh remaja putri. Gadis-gadis Sulbar khususnya suku Mandar biasanya membungkus jemari yang sudah dipasangi inai dengan daun pisang agar warna yang dihasilkan lebih kontras.

Adapun remaja putra biasanya melakukan Mattunu Pallang atau membakar obor berbahan bambu. Obor tersebut lalu ditaruh di halaman rumah, sebagai salah satu simbol kebahagiaan menyambut Ramadan. Sayangnya tradisi itu mulai jarang dilakukan anak muda Sulbar.


Mattunu Pallang/ Sumber: Facebook-Amriadi Kasman

Padahal menurut Sitti Reda, 66 tahun, tradisi melattigi seperti sesuatu yang wajib dilakukan kaum hawa baik remaja hingga orang tua di zaman dulu. Bahkan tidak jarang remaja putra juga ikutan. "Sekarang sudah jarang orang melattigi menjelang Ramadan. Kalaupun ada itu hanya beberapa orang tua,” kata warga Lembang, Kecamatan Sendana, Majene itu saat ditemui di kediamannya pada Jumat, 10 Maret 2020.

Reda mengatakan, tradisi melattigi subur pada era 1980-an. Setelah itu tradisi melattigi berangsur ditinggalkan. Salah satu pemicunya adalah muncul pro-kontra di masyarakat soal melattigi dari sisi agama. “Ada yang bilang bisa membatalkan wudu sehingga salatnya tidak sah," ujarnya.

Hanapi, 54 tahun, warga Desa Totolisi Sendana juga melihat tradisi Mattunu Pallang atau Sulo saat Ramadan sudah jarang dilakukan anak muda. Padahal di saat Hanapi remaja, tradisi itu sangat digandrungi memasuki Ramadan. “Biasanya sulo dipasang di dekat tangga depan rumah," kata dia, Jumat, 10 Maret 2020.

Menurut Hanapi obor tersebut dibuat dari bambu kecil sepanjang kira-kira 50 sentimeter. Di ujung bambu dipasangi buah yang dikenal masyarakat Mandar bernama Punaga. “Bila buah ini dibakar bisa bertahan beberapa waktu,” katanya.

Pemerhati budaya Sulbar Muhammad Ishak mengatakan melattigi dan mattunu pallang adalah bagian dari tatanan kearifan lokal nenek moyang dalam memaknai setiap peristiwa alam, peristiwa keagamaan, maupun peristiwa lainnya. Oleh karenanya, Ishak berharap pemerintah tidak abai melihat tradisi unik di Sulbar mulai lenyap di masyarakat.

Pemerintah menurutnya harus bisa mengembalikan tradisi ini agar menjadi warisan anak cucu nanti. “Kearifan lokal seperti itu harus dicatat dan kembali didorong untuk diterapkan warga sehingga menjadi data untuk warisan kebudayaan di Sulbar," kata Ishak melalui telepon selulernya pada Jumat, 10 Maret 2020.

Ishak menambahkan, tradisi melattigi dan mattunu pallang sebenarnya masih dilakoni beberapa pelosok desa. "Hanya memang ada pergeseran nilai karena faktor perkembangan komunikasi dan teknologi di masyarakat," kata warga Kandeapi, Polewali Mandar ini. Ishak menambahkan, mestinya tradisi itu justru didorong agar tidak punah. “Kita orang Mandar, mestinya bijak menangkap peristiwa yang disepakati sebagai kekhasan budaya lokal.”

Haslan Syahrir



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas