Mamuju, Sulbarkita.com -- Kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) selalu mengintai setiap instansi pemerintahan. Begitupun di Sulbar, beberapa waktu lalu publik dikagetkan dengan kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2016 yang menyeret empat mantan unsur pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Sulbar. Meskipun pada akhirnya mereka dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Tipikor Mamuju. Belum lagi pengelolaan APBD di pemerintah hingga dana desa yang telah menjerat beberapa kepala desa di Sulbar.
Penanggung Jawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wilayah Sulawesi Barat, Mohammad Jhanattan menerima kunjungan Sulbarkita.com di d’Maleo Hotel, Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Binanga, Kecamatan Mamuju, Senin, 14 Oktober 2019 malam. Pria kelahiran Bandar Lampung, 24 Mei 1985 itu menjelaskan mengenai situasi pemerintahan di Sulbar pada aspek pencegahan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Bagaimanakah tanggapannya mengenai hal itu? Apa saja tantangan yang ia hadapi dalam mencegah korupsi di Sulbar? Berikut ulasan wawancanya:
Bagaimana pendapat Anda melihat pengelolaan keuangan daerah dan pelayanan publik di Sulbar?
Pelayanan pada aspek keuangan, jadi ada sistem aplikasi memuat data keuangan yang dapat diakses oleh publik. Namun di Sulbar baik pemerintah provinsi maupun kabupaten belum maksimal menerapkannya. Ada beberapa hal yang kurang, misalnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) belum dimasukkan di aplikasi. Masih ada menu-menu yang belum terisi, termasuk laporan keuangan terutama pada penganggaran 2020, namun pemerintah masih kejar itu.
Apa saja masalah yang krusial pada hal itu?
Keseriusan dari Pemerintah Daerah (Pemda). Kami sudah masukkan pengelolaan keuangan sistem online ini ke dalam rencana e-budgeting. Kami sudah dorong pemerintah, bahkan berulang kali kami mengirim surat kepada bupati tapi ternyata mereka masih ketinggalan juga.
Apa penyebab masalah tersebut?
Mungkin karena infrastrukturnya, misalnya mereka belum siap pada segi Information and Technology (IT) atau mungkin kerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang terlambat, karena pemerintah belum punya sistem keuangan sendiri, Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) keuangannya masih mengikut pada BPKP.
Baca Juga:
KPK Temukan Kebocoran Pajak Terparah di Mamuju
KPK pernah menyatakan salah satu persoalan di Sulbar adalah penerimaan pajak. Seperti apa masalah yang ditemukan KPK terkait hal itu?
Kami dorong penggunaan alat untuk perhitungan pajak dilini usaha restoran, hotel, parkir dan hiburan alatnya dibantu oleh Badan Perencanaan Daerah (BPD), jadi Pemda tidak menganggarkan itu melainkan dibantu oleh BPD. Namun hasilnya belum optimal contohnya di Kabupaten Mamuju ini, dari 40 alat tersedia, yang tidak berfungsi sebanyak 24 alat. Itu karena Sumber Daya Manusia (SMD) yang kurang, tidak ada yang melakukan uji petik yang serius, tidak ada tim yang solid dan mereka kalah pada pola sosialisasi serta negosiasi kepada pelaku usaha.
KPK sudah minta mereka ubah pola, lakukan uji petik 30 hari. Begitu KPK pulang, saat kembali lagi alatnya masih belum berfungsi secara optimal. Jadi intinya, upaya-upaya pemerintah dalam pemantauan alat untuk menaikkan Penghasilan Asli Daerah (PAD), mereka belum serius.
Terdapat sejumlah kasus korupsi di Sulbar, misalnya pengadaan lampu, apa sih yang menjadi masalah besar di Sulbar dalam pemberantasan korupsi?
Kami sudah minta ke Pemda untuk membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Mandiri. Namun ada beberapa daerah belum punya Pokja Mandiri. Contohnya di Kabupaten Majene, karena kalau Pokja tidak ada maka proyek pengadaan tidak bisa maksimal. Ini masalah utamanya. Kemudian Inspektorat belum masuk mengaudit Unit Layanan Pengadaan (ULP). Contohnya di Kabupaten Mamuju, saya minta agar mereka segera audit Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJ), Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), laporan keuangan, dana desa, tapi alasannya lagi-lagi SDM mereka yang kurang.
KPK mendorong 10 pengadaan barang dan jasa untuk diaudit, ini sudah angka minimal dari puluhan pengadaan. Akibatnya, kalau dikatakan ada pengadaan yang terlambat, bolong-bolong dan ada celah korupsinya, itu karena pola pengawasannya yang belum maksimal di Inspektorat. Kalau pengawasannya seperti itu maka masih ada celah-celah. Saya sudah sampaikan di DPRD bahwa kebocoran dana APBD selalu ada kalau legislatif selalu bermain pada data pokok-pokok pikiran tanpa sesuai prosedur. Kemudian ada Peraturan Daerah (Perda) yang tidak langsung disahkan, macam-macam lah, ada ego sektoral, komitmen dari Pemda juga.
Jadi kami minta jangan bermain pada celah-celah demikian. Di provinsi, pada 2018 dan 2019 banyak pokok-pokok pikiran yang tidak dimasukkan dalam PBJ, jadi saya minta Badan Perencanaan Daerah (Bapeda), DPRD provinsi dan kabupaten untuk menghentikan rencana itu. Kami sampaikan juga kepada Inspektorat untuk melakukan audit khusus terkait pokok-pokok pikiran tersebut.
Ada gak sejenis evaluasi atau catatan KPK yang diberikan kepada pemerintah di Sulbar terkait pencegahan korupsi? Apa saja itu?
Dalam rapat Monitoring Centre for Prevention (MCP), kami minta pemerintah serius menggunakan aplikasi sistem keuangan itu dan APBD harus segera mereka masukkan ke aplikasi. Untuk pengadaan barang dan jasa, kami minta pemerintah lakukan penentuan personil Pokja Mandiri. Dan kami meminta Inspektorat untuk segera mengaudit pengadaan infrastruktur dan pengadaan besar lainnya.
Bagaimana pengelolaan dana desa di Sulbar?
Kami minta kepada dinas terkait agar melaporkan anggaran desa secara terbuka di masyarakat. Jadi harus dipasang spanduk yang memuat anggaran di masing-masing desa. Untuk sistem keuangannya, kami dorong desa untuk menggunakan aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes). Untuk Sistem Pengawasan Desa (Siswasdes), BPKP punya alatnya. Kami sudah koordinasi Kepada Kepala BPKP Sulbar untuk mengimplementasikannya di 2020 meskipun Siswasdes masih menjadi piloting (Percontohan) di beberapa daerah di Indonesia, BPKP juga sudah sanggupi itu untuk di 2020.
Erisusanto
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar