Tokoh

Selasa, 06 Desember 2022 | 10:23

Jl. Tomalinrung, Lakkading, Desa Limbua, Kec. Sendana, Majene/ Sulbarkita.com

Nazar Bentangkan Merah Putih 1 KM 

“Kalau saya tidak dibunuh, kalau Merah Putih menang, saya akan menjahit bendera Merah Putih mulai di rumah saya sampai ke lapangan Buraq Sendana (sepanjang 1 km). Saya juga akan memotong ayam berjumlah 44 ekor, ” kata Hadijah, 90 tahun, menirukan nazar ayahnya, Sahuda, di tengah perjuangan melawan Belanda.

Pasca proklamasi Kemerdekaan, kekuasaan Hindia Belanda tak serta merta menghilang di Nusantara. Mereka tetap berusaha kembali merebut seluruh wilayah Indonesia dengan melakukan agresi militer, termasuk di Mandar, Sulawesi Barat. Menurut H.A Syaiful Sinrang dalam buku “Mengenal Mandar Sekilas Lintas (Perjuangan Rakyat Mandar Melawan Belanda 1945-1949)” (2001:14), rombongan pasukan pertama Hindia Belanda yang kembali ke Mandar berupa serdadu asal Australia yang diikuti induk pasukan pejabat NICA dengan 500 personil. Mereka berangkat dari Makassar pada 21 September 1945 dan tiba di Mandar pada 23 September 1945.

Baca juga:
Sahuda, Pejuang asal Sendana Majene yang Terlupakan (Part I)
Sahuda, Pejuang asal Sendana Majene yang Terlupakan (Part II)
Sahuda, Pejuang asal Sendana Majene yang Terlupakan (Part III)

Pasukan terus berdatangan lantaran mendapat perlawanan sengit dari organisasi-organisasi pergerakan di Mandar seperti KRIS MUDA dan GAPRI 5.3.1. Bagi banyak kalangan, perjuangan pascakemerdekaan ini cukup berat. Mereka tak hanya melawan penjajah, tapi juga bangsa sendiri yang pesimistis terhadap pergerakan para pejuang dan juga memilih memihak kepada Belanda. Hal yang sama juga dialami oleh Sahuda dan anggotanya. Menurut Hadijah, itulah yang mendorong ayahnya, Sahuda, bernazar sebagai bentuk kepasrahan kepada Tuhan atas perjuangannya.

Kendati berhasil mengusir kembali penjajah, tak mudah bagi Sahuda mewujudkan nazar tersebut. “Setelah penjajah meninggalkan Mandar, Pua’ (Sahuda) merantau ke Donggala hingga ke Toli-toli, Sulawesi Tengah mencari nafkah karena ekonominya agak sulit,” kata Hadijah.

Menurut putri sulung Sahuda ini, sang ayah lalu menyeberang ke Balikpapan, Kalimantan Timur, membawa dagangan seperti sembako dan hasil pertanian seperti minyak kelapa. Keuntungan dalam berdagang, lanjut Hadijah, kemudian dikirim ke ibunya, Hamasiah (istri Sahuda), melalui perantau lain yang lebih dulu pulang ke Sendana, Majene.

“Pua’ pernah bersurat ke ibu saya bilang anak-anaknya dikasih minum susu, jangan hanya makan teles (olahan singkong khas Mandar),” ucap Hadijah tertawa mengenang surat tersebut sebagai penanda ekonominya mulai membaik setelah merantau.

Masa Bersiap yang Mencekam

Sementara di Sendana, Majene, kekalahan penjajah dalam agresi militer II sekitar 1947 tak membuat kondisi langsung normal. Seperti yang dikutip Rosihan Anwar dalam Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 (2010), justru Tanah Air memasuki sebuah fase kelam yang disebut masa perjuangan; Bersiap. Belanda menamakannya: Bersiap-Periode.

Di masa ini, seperti yang ditulis Kompas.com pada 09 September 2022, revolusi sosial Indonesia berbuntut pembantaian terhadap orang-orang Belanda dan kaki tangannya. Bahkan tercatat sebanyak 3.500 hingga 20.000 orang Belanda yang tewas pada saat itu.

Hadijah mengatakan pembantaian kaki tangan Belanda juga terjadi di Sendana, Majene. Kejadian itu semakin memanas ketika ayahnya, Sahuda, tengah merantau ke Donggala, Sulteng. Menurut Hadijah banyak yang datang ke rumahnya meminta perlindungan walaupun Sahuda tidak ada. “Ada yang bersembunyi di atas plafon rumah karena takut dibunuh,” ujarnya. “Banyak orang yang kuburannya sudah digali lebih dulu sebelum dicari untuk dibunuh,” ucap Hadijah menggambarkan situasi yang mencekam itu.

Saat itu pula Hadijah mendengar nasib nahas para pencibir perjuangan Sahuda dan anggotanya. Misalnya orang yang pernah menantang makan garam satu tempurung kelapa yang dipaksa memenuhi janjinya. Nasib yang sama dialami orang yang minta dimasukkan ke karung lalu ditenggelamkan ke laut yang akhirnya tewas. Ada juga orang yang dimasukkan ke laut lalu ditutup dengan perahu terbalik. “Bahkan ada juga yang dipancung dan jenazahnya disimpan di tangga rumahnya,” kata Hadijah.

Banyak tokoh masyarakat, Hadijah mengatakan, datang ke ibunya, Hamasiah, agar membujuk sang suami pulang. Mereka yakin peristiwa itu bisa segera berakhir ketika Sahuda datang karena para pelaku diduga dari kalangan yang menentang penjajah. “Saya ingat salah satu tokoh masyarakat bilang kalau tidak segera dihentikan Lakkading akan tenggelam (oleh darah) saking banyaknya pembunuhan dan penculikan,” Hadijah menambahkan.

Hadijah mengatakan sejumlah tokoh akhirnya menjemput Sahuda di Donggala menggunakan perahu layar. Benar saja, Sahuda bersama anggotanya berhasil mengamankan situasi. Di tengah kondisi yang berangsur damai itu, Sahuda mulai menunaikan nazarnya. “Pua’ saya bikin acara syukuran dengan memotong ayam 44 ekor. Itu acara yang cukup besar saat itu,” katanya sembari menaksir kejadian itu sekitar 1950-an.

Saat itu pula Sahuda mulai bersiap menjahit bendera Merah Putih yang membentang dari halaman rumahnya hingga ke lapangan Buraq Sendana, sepanjang 1 kilo meter. Namun takdir berkata lain, Hadijah mengatakan, sang pejuang itu kemudian jatuh sakit. Pada 5 September 1955, Sahuda menghembuskan nafas terakhirnya. “Beliau wafat sekitar pukul 10 pagi. Waktu itu sibuk-sibuknya persiapan Pemilu pertama,” kata Sahari, anak kelima Sahuda. Pemilu yang dimaksud Sahari adalah Pemilu legislatif yang kali pertama digelar Indonesia pada 29 September 1955.

Menurut Sahari, ayahnya diberikan penghargaan anumerta oleh pemerintah Indonesia saat itu. Anumerta adalah penghargaan yang diberikan kepada anggota Angkatan Bersenjata/PNS yang dianggap berjasa kepada negara sesudah orangnya meninggal (Pasal I ayat 14 Permenhan). “Menurut Sanusi, gelar ini hanya disandang oleh 2 orang di Kecamatan Sendana saat itu,” kata Sahari. Sanusi adalah staf Kantor Bupati Majene, yang juga adalah pejuang KRIS MUDA.


Makam Sahuda di Lakkading, Desa Limbua, Kec, Sendana, Majene/ Sulbarkita.com


Nama Jalan Veteran Sahuda yang Lenyap

Sepeninggal Sahuda sekitar 1960-an, sejumlah anaknya memilih merantau untuk menyambung hidup. Hadijah mengatakan, Muhammad Ali, putra kedua Sahuda merantau ke Donggala, Sulawesi Tengah, melanjutkan perdagangan sang ayah. Namun kabar tak enak datang dari perantauan; Ali tewas di tangan seorang pribumi, yang masih menjadi antek-antek Belanda.

Kesaksian sejumlah perantau asal Sendana menyatakan Ali dibunuh setelah ketahuan dia anak Sahuda. Pelaku diduga kaki tangan Belanda yang sudah lama mencari Sahuda yang kerap bersama dengan pejuang asal Donggala. Saat merantau ke sana, Sahuda memang intens berkomunikasi dengan pejuang di daerah tersebut lantaran wilayahnya masih dipengaruhi oleh bangsa kolonial. “Kami dapat kabar Ali diikat, pakaiannya dilepas, dan telinganya dipotong,” ujar Hadijah terbata-bata. “Ali kemudian diseret pakai mobil di tengah jalan hingga meninggal.”



Sampai saat ini, Hadijah melanjutkan, keluarganya tak menemukan makam Ali. Hanya pakaiannya yang dibawa pulang oleh teman seperantauanya. “Belakangan saya dapat kabar pembunuh Ali juga mati di tangan teman seperjuangan Sahuda di Donggala,” kata Sahari.

Dalam situasi keluarga yang masih berkabung, Sahari mengatakan, pemerintah meminta para pejuang di Sendana untuk mengajukan diri bergabung dalam Legiun Veteran Republik Indonesia atau LVRI, organisasi yang memberikan penghargaan berupa fasilitas gaji para juang yang masih hidup dan dana kehormatan bagi mereka yang sudah meninggal.

Menurut Sahari, pengurusan untuk bergabung dalam LVRI kala itu membutuhkan biaya yang besar. Sehingga ibunya, Hamasiah, sempat mengurungkan niat untuk mengurusnya. “Seseorang datang kepada saya dan berkata, saya sudah diangkat sebagai veteran, mengapa Pua’mu belum diurus?” katanya.

Dalam situasi yang putas asa, lanjut Sahari, sejumlah pejuang, anggota Sahuda, terus memberi semangat kepada keluarga untuk mengurusnya. Bahkan salah satu anggota Sahuda menolak mengajukan diri sebagai veteran bila nama Sahuda tidak ikut diurus. “Tapi pada pengurusan awal gagal. Padahal Ibu sudah menggadaikan sawah,” ujar Sahari.

Barulah pada 1982, Sahuda mendapat pengakuan negara sebagai pejuang kelaskaran Kris Muda Mandar dan GAPRI 5.3.1. Hamasia juga kemudian mendapat pengakuan sebagai veteran dengan gelar kehormatan di atas piagam yang ditandatangani Menteri Pertahanan Kemananan/Panglima Angkatan Bersenjata Sudomo dan kepala KANMINVET XVII Sulselra, Lappase.

Tak hanya pengakuan dari negara, nama Veteran Sahuda juga mendapat kehormatan dari pemerintah untuk diabadikan sebagai salah satu nama jalan di Lakkading, tepatnya di samping SD nomor 4 Lakkading.

Namun, Hadijah mengatakan keberadaan nama jalan tersebut ternyata tidak disenangi oleh beberapa pihak yang diduga masih memiliki kebencian terhadap Sahuda. Sehingga suatu saat, nama jalan itu dicabut oleh orang yang tidak dikenal. “Mungkin seseorang yang cemburu atau dendam terhadap Pua,” kata Hadijah. Kini jalan Veteran Sahuda berubah menjadi Jalan Tomalinrung yang masuk dalam Desa Limbua. “Biarlah Pua’ mendapat penghargaannya di akhirat,” ujar Sahari.

TIM SULBARKITA.COM



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas