Tokoh

Rabu, 16 November 2022 | 04:18

Andi Depu bersama pejuang termasuk dari Sendana Majene, Sumber: buku H.A Syaiful S.

Tinja di Lubang Tiang Bendera

Majene, Sulbarkita.com—UPAYA Sahuda dan para pejuang untuk mengusir pasukan Belanda tak disambut banyak pihak, termasuk sebagian tokoh di wilayahnya. Banyak yang mencibirnya karena perjuangan Sahuda dinilai akan sia-sia. Bahkan ada yang tak segan menantang Sahuda lantaran yakin perjuangannya berakhir gagal. “Ada yang bilang, hei Sahuda, beri saya makan garam satu tempurung kelapa jika kalian menang. Ada juga yang bilang, masukkan saya ke dalam karung dan tenggelamkan di laut!” kata Hadijah, 92 tahun, anak pertama Sahuda, menirukan orang-orang tersebut.

Tak hanya ucapan, Sahuda dan pasukannya juga kerap mendapat perlakuan buruk dalam perjuangannya. Salah satunya, saat hendak mengibarkan bendera Merah Putih di lapangan Buraq Sendana, Majene. Lubang tiang bendera yang baru saja digali malah diisi tinja oleh mata-mata Belanda. “Baru ketahuan saat Zainuddin (salah satu pejuang) kecipratan tai saat memasukkan tiang bendera ke dalam lubang di pagi hari,“ ucap Hadijah. "Dia datang melapor ke Pua’ (Sahuda) dalam kondisi baju banyak tai-nya.”

Baca juga:
Sahuda, Pejuang asal Sendana Majene yang Terlupakan (Part I)
Sahuda, Pejuang asal Sendana Majene yang Terlupakan (Part II)

Alimin, 73 Tahun, anak kandung Zainuddin membenarkan cerita Hadijah. Semasa hidup, sang ayah pun pernah bercerita tentang peristiwa tinja yang dimasukkan ke dalam lubang tiang bendera yang hendak dikibarkan di lapangan Buraq Sendana. “Bapak saya tidak tau jika lubang tiang bendera berisi kotoran manusia. Saat menancapkan tiang ke dalam lubang, tai itu tersembur hingga wajahnya,” ucap Alimin saat ditemui di Masjid Baiturrahim Lakkading pada Kamis, 22 September 2022.

Peristiwa pengibaran bendara Merah Putih di Lapangan Buraq Sendana tercatat dalam buku Perjuangan Rakyat Mandar Sulawesi Selatan Melawan Belanda (1945-1949) karya H. Andi Syaiful Sinrang. Bahkan pada halaman 24-25, Syaiful menulis kisah yang mirip dengan cerita Hadijah dan Alimin tentang nasib bendera Merah Putih yang akhirnya diturunkan paksa oleh tentara pribumi Belanda tesebut. “Parahnya dan kurang ajarnya, setelah bendera turun, seorang anggota Hulp Polisi (HP), bangsa sendiri, menggulung dan mengencingi (bendera)nya. Namun pejuang tak dapat berbuat apa-apa karena dilindungi oleh polisi NICA yang besar jumlahnya,“ tulis Andi Syaiful. “Tahun 1949 saat Belanda meninggalkan Mandar, Hulp Polisi tersebut ditangkap oleh pemuda pejuang tetapi tidak dieksekusi mati karena alasan; bukan bendera yang dikencingi melainkan lubang tempat memancangkan tiang bendera.”

Kehilangan Empat Gigi dan Dihujani Tombak
Dalam perjuangannya, Sahuda tak hanya dikeroyok tentara Belanda, ia pun keluar masuk penjara di Baggae, Majene, sekitar 30 kilometer dari kediamannya di Lakkading, Kecamatan Sendana. “Kalau tidak salah 9 sampai 11 kali dimasukkan ke penjara,” ujar Hadijah. “Dia (Hadijah) tahu persis karena sering membesuk bersama ibu saya (Hamasiah),” kata Sahari, 78 Tahun, anak kelima Sahuda, menegaskan cerita Hadijah.

Belanda memang memiliki penjara di Majene, dalam Tur Kota Tua Majene bagian 2 oleh Muhammad Ridwan Alimuddin di Mandarnesia.com, menuliskan kemungkin besar penjara itu ada di Tangsi Militer Belanda yang kini menjadi Markas Yonis 721. Sejumlah tokoh pejuang Mandar pernah ditahan di Penjara Majene mulai dari pimpinan tertinggi KRIS MUDA Mandar, Ibu Agung Andi Depu hingga Hamma Sale Puanna I Su’ding alias Hammad Saleh (Perjuangan Hammad Saleh Menentang Jepang dan Belanda di Mandar 1942-1947, hal 140)

Saat dijebloskan ke tahanan Belanda, Hadijah mengatakan, Sahuda babak belur disiksa pasukan Belanda. Bahkan empat gigi geraham Sahuda dicabut paksa. Siksaan yang parah tersebut dialami Sahuda lantaran menolak membeberkan identitas rekan seperjuangannya. “Pernah juga tidak bisa makan karena mulutnya terbakar habis dimasukkan batang korek kayu yang sedang menyala," kata Hadijah mengenang.

Kisah soal penyiksaan Sahuda juga pernah didengar oleh Imam Masjid Dusun Lembang, Desa Limbua, Kecamatan Sendana, Saruddil, 68 Tahun, dari mendiang ayahnya Copong.  “Sahuda disiksa karena dipaksa mengaku siapa-siapa kawan perjuangannya,” ucap Saruddil.


Imam Masjid Dusun Lembang, Desa Limbua, Kecamatan Sendana, Saruddil

Hadijah dan ibunya, Hamasiah, hanya bisa menangis menyaksikan kekejaman pasukan Belanda terhadap Sahuda. Suatu saat, Hadijah mengatakan, ibunya sedang hamil besar saat Sahuda ditangkap. Akibatnya dia bersama sang ibu harus pontang panting mencari nafkah untuk menghidupi adik-adiknya. Sahuda lalu dibebaskan ketika sang adik lahir. “Pua’ memberi nama adik saya Mustawan atau Tawan, yang berarti ditangkap sesuai kejadian yang dialaminya,” kata Hadijah.

Di luar penjara, Sahuda juga kerap dihantui upaya pembunuhan. Ironisnya, Hadijah bercerita tindakan itu tak hanya datang dari pasukan Belanda tapi keluarga Sahuda sendiri. Suatu malam, Sahuda yang sedang tertidur lelap dihujami tombak dari kolong rumah. Maklum rumah Sahuda adalah rumah panggung yang lantainya dari papan dengan susunan yang renggang. “Mata tombak terkena tikar tempat Pua’ saya berbaring,” ucap Hadijah.

Baca juga :
Sahuda, Pejuang asal Sendana Majene yang Terlupakan (Part IV-akhir)

Sahuda terbangun lalu berusaha mengejar pelaku. Kendati berhasil kabur, pelaku meninggalkan jejak berupa sandal yang tertinggal di kolong rumah Sahuda. Dari sandal itulah, Sahuda mengidentifikasi keluarga yang berusaha membunuhnya. “Banyak warga yang melihat sandal itu sering dipakai keluarga dekat kami itu,” ucap Hadijah.

Terusir dari Kampung Halaman
Dampak perlawanan Sahuda terhadap pasukan Belanda sangat besar terhadap keluarganya. Hadijah mengaku kerap dirundung saat duduk dibangku Sekolah Rakyat (SR) alias SD. “Saya ditendangi oleh teman kelas sambil berkata kamu anak pasukan Merah Putih jangan ke sini!,” ujarnya lalu pulang ke rumah sambil menangis. Hadijah mengaku lama tidak sekolah akibat perundungan tersebut.

Saat Hadijah membantu sang ayah Sahuda untuk menjual hasil tangkapan ikannya di pasar, ikan sebanyak satu baskom plastik diambil paksa oleh seorang keturunan bangsawan. “Semula tidak mau bayar lalu dia lempar uang 1 benggol (mata uang Hindia Belanda kala itu) ke saya,” ucapnya. Hadijah melaporkan kejadian itu ke ayahnya, Sahuda, namun sang ayah hanya memintahnya bersabar. Bapak saya cuma berkata lailahaillallah, kasian anak saya”.


Mesin jahit peninggalan usaha Sahuda di Petoosang

Warga kampung juga mengasingkan Sahuda dan keluarganya. Tak satupun dari mereka yang mau menjual makanan seperti beras maupun kebutuhan pokok lainnya kepada keluarga Sahuda. Mereka takut pada antek-antek Belanda yang bisa menuduhnya bersekongkol bersama Sahuda. “Pua’ saya juga tidak lagi dipanggil dalam acara-acara di kampung,” ucapnya.

Kakak kandung Sahuda bernama Sumillahi, yang kala itu menjabat Imam di Masjid Baitturrahim Lakkading, juga terkena imbas oleh perjuangan sang adik. Ia diberhentikan secara paksa dari posisi imam karena mendukung perjuangannya. “Kamu lebih baik berhenti karena adikmu pejuang Merah Putih,” kata Hadijah menirukan perkataan antek-antek Belanda tersebut. Sumillahi kemudian menjadi mertua Hadijah setelah dinikahkan dengan salah satu putranya bernama Abdul Mannang.

Melihat kondisi ini, Sahuda pun tak betah lagi tinggal di kampung halamannya. Hadijah mengatakan sang ayah lalu bertandang ke rumah pimpinan tertinggi KRIS MUDA Mandar, Ibu Agung Andi Depu, di Tinambung, Polewali Mandar. ”Ia mengadukan nasibnya yang tak lagi diterima di kampung halaman,” katanya.

Menurut Hadjiah, Andi Depu yang telah dianungerahi Pahlawan Nasional sejak 2018 lalu memberikan sebidang tanah persis di samping rumahnya kepada Sahuda sekeluarga. Namun Sahuda mengatakan hendak tinggal di Petoosang, Kecamatan Alu, karena sang istri Hamasiah berasal dari sana. “Di Petoosang ibu saya membuka warung, berjualan gogos, kopi, dan teh,” ucap Hadijah.

Sementara Sahuda berjualan salaka (Perhiasan) dan bahan-bahan pokok lainnya hingga ke wilayah Toraja. Sahuda juga terampil dalam menjahit, ia pun membuka usaha jahit di wilayah tersebut. “Kami punya dua mesin jahit saat itu. Yang satu saya masih simpan sampai sekarang,” ucap Hadijah.

Sahuda tinggal menahun di Petoosang, Ia baru pulang ke Lakkading, Kecamatan Sendana, setelah para pejuang kembali berhasil menyusun kekuatan. Mulai di sanalah, berdatangan pasukan dari luar Sulawesi seperti Kalimantan ke rumah Sahuda. (BERSAMBUNG...)

Baca soal pejuang asal Kalimantan:
Sahuda, Pejuang asal Sendana Majene yang Terlupakan (Part II)

TIM REDAKSI SULBARKITA.COM



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas