Konsultasi Hukum

Senin, 14 Januari 2019 | 17:32

Pertanyaan :

Sebagian orang memilih membuat perjanjian sebelum menikah. Sebenarnya, seberapa bermanfaat membuat perjanjian tersebut? Lalu, apa saja yang harus diatur dalam perjanjian pranikah? Serta bagaimana cara melegalkannya? Apakah cukup dengan materai atau harus dilegalisasi di notaris? Mohon pencerahan.

Dika Tappalang

Jawaban :

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Sebelumnya, saya akan menjelaskan hukum perjanjian. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata, pada pasal 1320 disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.

Pada point pertama, disebutkan bahwa perjanjian hanya bisa terjadi jika kedua belah pihak sepakat, tanpa paksaan dan tipuan serta kekhilafan, dalam melakukan perjanjian. Hal itu disebutkan secara jelas dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Jika perjanjian tersebut dilaksanakan karena terpaksa, khilaf atau ditipu, maka perjanjian tersebut tidak sah.

Selanjutnya, pada point kedua disebutkan bahwa dalam perjanjian, para pihak harus cakap. Artinya, kedua belah pihak tidak boleh berada dalam pengampuan atau tidak sempurna akalnya. Selain itu, syarat yang lain adalah para pihak bukan anak yang belum dewasa sebagaimana dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 1329 KUH Perdata: Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.

Pada syarat “suatu hal tertentu”, merujuk pada ada objek atau barang yang bernilai uang yang diperjanjikan, termasuk barang yang baru ada pada waktu yang akan datang. Jadi, dalam perjanjian disyaratkan agar ada objek perjanjian berupa barang bernilai uang. Ketentuan tersebut dijelaskan dengan jelas dalam Pasal 1332 dan 1334 KUH Perdata.

Syarat terakhir yaitu perjanjian harus didasarkan pada suatu sebab yang halal. Dalam hal ini tidak bertentangan dengan undang-undang maupun kesusilaan. Apabila perjanjian melanggar undang-undang atau kesusilaan misalnya perjanjian untuk menjual narkotika, maka perjanjian tersebut melanggar syarat sahnya suatu perjanjian. Karena narkotika adalah barang yang dilarang dijual menurut undang-undang. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 1337 yaitu “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Jika Anda ingin melakukan perjanjian pra nikah, sangat disarankan untuk mengikuti syarat sah suatu perjanjian sesuai dijelaskan seperti di atas. Perjanjian pra nikah sendiri, sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang tentang Perkawinan junto (jo). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, misalnya menyebutkan bahwa Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Ada banyak manfaat dari perjanjian pra nikah, terutama untuk meminimalisir persoalan yang akan muncul kedepannya. Misalnya, jika ada calon pasangan suami istri yang melakukan perjanjian pra nikah sekaitan dengan harta yang nantinya dihasilkan para pihak menjadi hak para pihak sendiri, dan dalam pernikahannya, ada persoalan, para pihak tinggal mengikuti kesepakatan awal saja.

Sekaitan dengan apa saja yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian pra nikah, sebagaimana dikutip dari artikel Shanti Rachmadsyah, SH berjudul “Perkawinan Campuran (2)” yang mengutip pendapat Anita D.A. Kolopaking bahwa hal yang diperjanjikan dalam perjanjian pra nikah antara lain:

  1. Harta bawaan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing maupun dari hibah, warisan ataupun cuma yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
  2. Semua hutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka yang dibuat oleh mereka selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan suami atau istri.
  3. Istri akan mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dengan tugas memungut (menikmati) hasil dan pendapatan baik hartanya itu maupun pekerjaan atau sumber lain.
  4. Untuk mengurus hartanya itu, istri tidak memerlukan bantuan atau kuasa dari suami.
  5. Dan lain sebagainya.

Soal legalitasnya, dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang tentang Perkawinan junto (jo). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 disebutkan bahwa perjanjian tersebut, agar kuat secara hukum, harus disahkan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris. Meskipun demikian terhadap suatu perjanjian yang hanya dibuat dan disepakati oleh kedua bela pihak disertai dengan saksi-saksi (minimal 2 orang saksi) tetap sah secara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1338 ayat 1 BW yang menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatanya.

Terima kasih

Burhan, SH (Advokat dan Konsultan Hukum)

 

Halo Guys….

Kami dari Sulbarkita.com membuka rubrik baru yang lebih interaktif. Namanya Konsultasi Hukum. Rubrik ini kami dedikasikan buat siapa saja yang mau berkonsultasi seputar masalah hukum dengan pengacara-pengacara yang menjadi partner kami.

Silakan kirim pertanyaannya lewat jejaring sosial Sulbarkita.com atau email dengan disertai hashtag #TanyaSulbarkita. Berikut alamat medsos dan emailnya :

- Facebook : SulbarKita

- Twitter : @sulbar_kita

- Instagram : sulbarkitadotcom

Email :

sulbarkita@gmail.com
info@sulbarkita.com



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas