Polewali Mandar, Sulbarkita.com—Maestro seni rebana asal Mandar, Cammana, wafat di usia 85 tahun pada Senin 7 September 2020. Kepergiannya membawa duka mendalam bagi masyarakat Sulbar, lantaran dialah perempuan yang memperkenalkan rebana Mandar ke kancah nasional hingga internasional.
Bahkan bisa dikatakan, Cammana adalah satu-satunya perempuan di Sulbar yang menyandang gelar sebagai parrawana towaine atau perempuan penggebuk rebana. Profesi ini cukup langka di kalangan perempuan Mandar dewasa ini. Alat musik tradisional itu kini lebih kerap dimainkan laki-laki di berbagai ritual adat seperti pengiring Sayyang Pattu’du atau kuda menari.
Dalam penelitian berjudul Makna Simbolik Tu’du Denggo di Kelurahan Limboro Kecamatan Limboro Polewali Mandar oleh Putri Namirah disebutkan, Parrawana Towaine mulai muncul sejak Islam masuk ke tanah Mandar (2019:36). Hal itu ditandai dengan lagu rebana yang berisi kisah-kisah, juga nasehat bertema keagamaan.
Sedangkan penelitian Syarifuddin dkk, berjudul The Implementation of Thematic Learning In Primary School Based on Polewali Mandar Local Wisdom, Western Sulawesi Province menyebut lagu yang dibawakan Parrawana Towaine bernuansa religi. Seperti di dalam konteks syar'i dan dalam nuansa tasawuf yang dalam bahasa Mandar biasa disebut Masaala (2018: 228).
Kendati demikian, kisah hidup Cammana sebagai Parrawana Towaine sangat minim dibahas dalam perjalanan seni rebana di Tanah Air. Padahal Cammana sudah bisa dikategorikan sebagai maestro atau ahli dalam seni tersebut. Prestasinya tercatat ketika meraih Satyalancana Kebudayaan dari Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010. Pun demikian Penghargaan Maestro Seni Tradisi Tahun 2010 oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Buku Mandar Nol Kilometer karya Muhammad Ridwan Alimuddin pada 2011 menyebut Cammana lahir pada 1935 di Samasundu, yang kini menjadi desa di Kecamatan Limboro, Polewali Mandar.
Darah seni cukup kental mengalir di tubuh Cammana lantaran kedua orang tuanya adalah seniman besar di zamannya. Sang ayah yang bernama Zani adalah pemain rebana dan perupa. Ia begitu dihormati lantaran juga nyambi sebagai juru tulis kepala kampung, pengajar tasawuf, dan mentor pencak silat. Sedangkan ibunya, Jo’e, dikenal multitalenta. Jo’e tak hanya piawai memainkan kecapi, tapi juga seorang guru spiritual dan pelatih mengaji di kampung. Zani wafat pada 1987, kemudian sang istri menyusul pada 2003 (2011:34).
Pada usia sembilan tahun, Cammana mulai menekuni kesenian rebana tradisional hingga tumbuh menjadi remaja (Fajar, 2012). Ia lalu membentuk grup rebana beranggotakan 4-7 orang wanita yang pentas dari rumah ke rumah, hingga kampung ke kampung sejak 1957.
Dalam skripsi berjudul Tradisi Kalindaqdaq Di Balanipa Kabupaten Polewali Mandar (Studi Unsur-Unsur Islam) karya Nurannisa, pertunjukan Parrawana Towaine biasanya diadakan malam hari dalam sejumlah acara seperti perkawinan dan sunatan. Parrawana Towaine diundang bukan untuk hiburan semata, tapi kadang sebagai bentuk nazar masyarakat Mandar bila sesuatu yang diharapkan bisa terpenuhi (2017:52).
Kepiawaiannya bermain rebana membuat perempuan yang sering dipanggil Bunda Cammana itu mulai tersohor hingga ke ke telinga para pejabat di Sulbar. Salah satunya Saad Pasilong, Bupati Polmas 1995-1997, dan Hasyim Manggabarani, Bupati Polmas 1998-2003. Cammana mulai aktif mengisi acara dalam kegiatan para bupati tersebut.
Di luar itu, Bunda Cammana juga mulai pentas di berbagai daerah seperti pada Pekan Budaya Sulawesi Selatan di Makassar. Ia lalu merambah ke kancah nasional seperti di Jombang dan Yogyakarta, hingga menghadiri silaturahmi kebudayaan se-Asia di Singapura pada 1994 (Alimuddin, 2011:35).
Rony K. Pratama dalam Obituari Kesahajaan Hidup Bunda Cammana pada 2020 menyatakan, kendati tak banyak orang luar Mandar yang memahami ucapan yang dikumandangkan Bunda Cammana saat tampil, karena selawat berbahasa Arab itu diucapkan dengan logat khas Mandar, penonton penampilan Cammana seolah mengerti. Sebab menikmati bukan perkara bahasa, melainkan “sisi universal” musik yang dapat berterima bagi siapa saja.
Sedangkan Amin Ungsaka dalam Menyaksikan Kehidupan Shalawat Bunda Cammana pada 2020 menyebut siapa pun yang mendengarkan selawat yang dikumandangkan Bunda Cammana saat tampil akan tergedor kekakuan hatinya, menjadi tenteram, ayem, dan menangis karena menyadari kerinduan yang sama kepada Nabi Muhammad SAW.
Atas kehebatannya tersebut melantunkan selawat dalam rebananya, Hilmy Nugraha dalam Menabuh Rindu Bunda Cammana pada 2020 menyebut Cammana sebagai manusia selawat. Sebab selawat, tak lepas dari mulut dan batin Cammana.
Dekat dengan Cak Nun
Bunda Cammana juga sudah kerap manggung dengan seniman besar Tanah Air seperti WS Rendra dalam acara Mocopat Syafaat pada 17 Juli 2005. Kemudian budayawan sekaligus tokoh intelektual muslim Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun dalam panggung Komunitas KiaiKanjeng.
Khusus dengan Cak Nun, Cammana memiliki kedekatan yang terjalin cukup lama. Rony K. Pratama (2020) menyatakan mereka sudah dekat sejak sekitar tiga dekade lalu. Kala itu Cak Nun berkunjung ke Tanah Mandar untuk mengikuti worskhop teater di Flamboyant, sebuah komunitas teater di Tinambung, Polman sekitar 1989.
Cammana bersama Cak Nun/Sumber:Caknun.com
Rony menyebut kedekatan kedua tokoh ini tergambar saat Cak Nun kembali menginjakkan kaki ke Mandar beberapa tahun silam. Bunda Cammana sudah menanti di pinggir jalan. Ketika pintu mobil dibuka, mereka langsung berpelukan erat. Tak ada bahasa yang keluar kecuali air mata mengucur pelan.
Helmi Mustofa dalam Bisikan Cinta Bunda Cammana pada 2016 menyebut Bunda Cammana tak punya bahasa atau kalimat setiap kali bertemu Cak Nun. Yang ia punya adalah cinta dan selawat kepada Kanjeng Nabi yang dikeluarkan dari hatinya. Setiap pertemuan adalah cinta dan rindu kepada Baginda Muhammad SAW.
Sedangkan Hilmy Nugraha (2020) menyebut saat berkunjung ke rumahnya di Limboro, Cammana sempat menitipkan sekotak hadiah untuk Cak Nun dengan tulisan, “Untuk Cak Nun, dari Bunda Cammana”. Menurut pengakuan anaknya, hadiah itu berisi beberapa bungkus rokok kesukaan Cak Nun.
Keberadaan Cak Nun memang cukup besar mempengaruhi kiprah Cammana di kancah nasional. Ridwan Alimuddin menyebut penghargaan yang banyak didapatkan Cammana tak bisa dilepaskan dari dukungan Cak Nun. Bahkan cita-cita Cammana untuk naik haji juga atas bantuan Cak Nun (2011:35).
Dikenal Sakti
Cammana bukanlah seniman sembarangan. Dia juga dikenal memiliki kemampuan yang tidak biasa. Hilmy Nugraha (2020) dalam tulisannya menyebut kalangan masyarakat Mandar meyakini Bunda Cammana orang sakti.
Hal itu ditandai dengan banyaknya warga yang kerap datang untuk sekadar meminta air minum yang didoakan oleh Cammana. Beberapa barang hilang pun, Bunda Cammana kerap dimintai tolong untuk mencari informasinya. Bahkan meminta rujukan Cammana untuk hari baik.
Sementara Helmi Mustofa (2020) menuliskan Bunda Cammana juga diminta mendoakan agar kuda yang liar bisa jinak dan patuh. Sehingga lebih mudah ketika digunakan untuk memenuhi bermacam kebutuhan.
Di depan rumah panggung milik Cammana di Desa Limboro, berdiri sebuah studio yang digunakan Cammana untuk menularkan keahliannya kepada anak-anak perempuan dalam kesenian tradisional marrawana. Studio itu juga digunakan untuk mengajar anak-anak tersebut untuk mengaji.
Dalam sebuah kesempatan, Cammana menyampaikan kerisauannya terhadap generasi muda. “Tanpa dukungan dan perhatian sungguh-sungguh dari pihak yang seharusnya lebih peduli, saya tidak yakin kesenian tradisional yang kita miliki akan bertahan,” katanya (Fajar, 2012).
TRI S
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar