Majene, Sulbarkita.com -- Usianya terbilang senja, 85 tahun. Namun Sitti, bukan nama sebenarnya, masih terlihat cekatan. Tubuh yang mulai renta tak mencekatnya untuk beraktivitas. Begitu pun pikirannya, tak kehilangan ketajaman. Ia masih mengingat peristiwa yang terjadi berpuluh tahun silam, dan menuturkannya kembali kepada Sulbarkita.com pada sebuah siang di kediamannya, di Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
Sitti adalah salah satu saksi yang merekam sejarah pahit di Sulbar pada 1960an. Ia terseret dalam huru-hara pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), milisi muslim yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Adapun di Sulawesi Selatan sebelum berpisah dengan Sulbar dikomandoi oleh Abdul Kahar Muzakkar. Organisasi ini bubar pada 2 September 1962 atau tepat 57 tahun pada 3 hari lalu.
Suami Sitti adalah Kaco, juga bukan nama sebenarnya, merupakan kepala staf tentara Islam di Majene. Ia tak hanya mendampingi sang suami, tapi juga sempat mengungsi dari kejaran TNI yang disebut Sitti sebagai tentara Jawa.
Masih lekat di ingatan Sitti, saat ia beserta suami dan kedua anak mereka, Cicci dan Caco, keduanya nama samaran, bersembunyi hingga ke pedalaman Sulbar yang saat itu masih masuk wilayah Sulawesi Selatan. Sementara Cicci berumur 3 tahun, Caco masih berusia 8 bulan.
Keruntuhan perlawanan DI/TII pada 1965 ditandai wafatnya sang pimpinan, Kahar Muzakkar dalam aksi baku tembak dengan TNI. Peristiwa itu berdampak pada nasib pasukannya di Majene. Pasukan Siliwangi yang kala itu bertugas, akhirnya mulai menyisir sisa pasukan tersebut di Sulawesi.
Itu yang menggiring Kaco mengungsikan Sitti dan kedua anaknya ke tanah leluhurnya di Kecamatan Alu, Kabupaten Polewali Mandar. Di sanalah keluarga dan pasukan DI/TII lainnya berkumpul. Namun sayangnya, TNI mendeteksi keberadaan mereka dan mulai memburunya.
Walhasil, Kaco dan keluarganya pun melarikan diri ke hutan. Situasinya menegangkan, tak jarang alam memakan korban dari kalangan para pengungsi ini.
“Kami terjebak di dekat sebuah batu besar dan curam. Karena takut tertangkap, kami menuruni batu itu dengan memanfaatkan rotan untuk bergelantung. Banyak teman kami terluka karena terhantam pepohonan. Ada yang terjatuh dan meninggal dunia,” ujar Sitti.
Dalam pengungsian itu, mereka kerap mendirikan pondok untuk berteduh. “Mungkin sekitar 40-an kali kami bangun pondok. Ada yang sempat kami tinggali beberapa malam, ada pula yang tidak sempat kami tinggali karena tiba-tiba para tentara Jawa itu menyerang,” ucap Sitti.
Bahkan sang suami yang saat ini telah wafat pernah memasukkannya di sebuah liang sempit bersama anak dan bayinya untuk bersembunyi dari TNI. Di dalam liang itu, ia tidak bisa bergerak saking sempitnya. Adapun Kaco, berjaga di luar liang dan memberinya makanan apa saja yang ia temukan di hutan.
Tak berselang lama, mereka mendapat kabar permintaan dari TNI agar pasukan gerilya itu menyerahkan diri. Sang suami dan tentara lainnya pun akhirnya meninggalkan keluarganya di tengah hutan karena takut mengikutsertakan mereka dalam penyerahan diri.
Waktu berjalan, para pengungsi yang berada di perkemahan tak sabar menunggu kabar. Mereka pun berinisiatif pulang ke kampung halamannya masing-masing. Pun demikian dengan Sitti, yang memboyong anak dan bayinya untuk menjelajah belantara menuju kampungnya di Sendana.
Pengungsi berjalan beriringan dan terus menyusuri hutan dan gunung. Tiba di suatu tempat di pedalaman Polman, Sitti bersama kedua orang bayinya tersesat dan tak melihat lagi kawanan senasibnya itu. “Suatu sore menjelang malam, saya tertinggal oleh rombongan di hutan,” ucapnya.
Tinggalkan Anak di Hutan
Bertahan hidup di hutan tak pelak membuat Sitti ingin menyerah. Suatu sore ia memutuskan untuk meninggalkan anak perempuannya di sebuah sungai. Walau berat hati, ia membuang Cicci yang tak sanggup lagi berjalan. Mereka tanpa alas kaki, sehingga kaki Cicci banyak tertusuk duri.
Dengan perasaan gundah dan sedih, Sitti melanjutkan perjalanannya mendaki sebuah gunung terjal sembari menggendong bayinya. Setibanya di puncak gunung petang itu, Sitti gelisah. Naluri keibuannya tak henti mengusik. Pikirannya terus dipenuhi oleh wajah Cicci, yang tadi ia tinggalkan. Air mata Sitti pun mengalir. Ia teringat bagaimana Cicci ditinggalnya di sebatang pohon.
Tak tega, Sitti akhirnya kembali menuruni gunung dan menyimpan bayinya di sebuah tangkai kayu di puncak gunung itu. Di tengah perjalanan, dia berjanji pada dirinya sendiri. “Seandainya saya tidak menemukan putri saya, dan bayi saya juga menghilang, maka saya akan bunuh diri,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Namun alam berbaik hati pada Sitti dengan menjagakan Cicci untuknya. Sang putri dia temukan sedang duduk di atas batu sambil bermain mengayun-ayunkan kaki. Ia pun memeluk putrinya itu sambil bergelimang air mata. Setelah itu ia kembali mencari bayinya di puncak gunung, dan bersyukur Caco tetap di tempat yang sama.
“Perasaan saya lega. Karena hari sudah malam, saya pun seketika merebahkan badan beristirahat di puncak gunung itu hingga pagi menjelang,” kata Sitti.
Keesokan harinya, perjalanan kembali mereka lanjutkan melewati pegunungan hingga berhasil melihat lautan. Sitti hampir tiba di dekat pantai yang menjadi area pemukiman warga di Majene. “Cicci bertanya, garis hijau itu apa? Saya menjawab, ucapkan salam Nak, itu laut. Sebentar lagi kita tiba di rumah,” kata Sitti.
Namun di tengah jalan ia dihadang sekelompok pemuda warga setempat yang belakangan diketahui merupakan anak buah suaminya. “Awalnya saya takut, salah seorang pemuda itu berkata, 'Mungkin mereka inilah yang kita cari'. Mereka bertanya apakah saya adalah istri Kaco,” ujar Sitti.
Pemuda itu lalu membantu Sitti menggendong bayinya dan mengantarnya ke pemukiman warga di Kecamatan Tubo, Kabupaten Majene, sekitar 50 kilometer di utara kampungnya. Di sana mereka dirawat, diberi makan dan pakaian. “Foto kami banyak, karena saat itu kami terus difoto oleh seseorang,” kata dia.
Sitti juga bertemu salah seorang teman lama warga Tubo, yang kerap membantunya menjahit pakaian di kediamannya, jauh hari sebelumnya.
Sepekan berlalu, Sitti pun diantar pulang ke kampung halamannnya di Sendana menggunakan perahu. “Kami berada di hutan sekitar setahun lamanya,” kata Sitti.
Erisusanto
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar