OPINI

Sabtu, 20 Juli 2024 | 09:38

Sumber; Kontan.co.id

Oleh: Achmad Nur Ilahi. M, S.H.

(Praktisi Hukum dan Pemerhati Demokrasi)

Calon Petahana masih sangat berpeluang memenangkan kontestasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Setidaknya, hal tersebut yang tergambar dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilaksanakan pada 27 Mei hingga 2 Juni 2024, dengan 1.200 responden yang dipilih secara acak di 38 provinsi. Hasilnya 63,3 persen responden menyatakan untuk mempertimbangkan memilih kepala daerah yang saat ini sedang menjabat. Sebanyak 23,0 persen menyatakan tidak mempertimbangkan serta 13,7 persen lainnya menyatakan tidak tahu.[1]

Persepsi masyarakat Untuk memilih calon petahana tidak muncul dari ruang hampa, akan tetapi disokong oleh berbagai faktor yang secara umum dapat dilihat; Pertama, dari bentuk kekuasaan yang terlihat (Visible Power), seperti kesempatan untuk menarik simpati masyarakat melalui jualan program pembangunan yang telah dilaksanakan sebagai investasi politik. Kedua, bentuk kekuasaan yang tersembunyi (hidden power), yaitu politisasi birokrasi melalui mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN), monopoli dukungan politik, dan kooptasi terhadap penyelenggara pemilu. Ketiga, bentuk kekuasaan yang tidak terlihat (Invisible Power), melalui peranan pemuka agama dan pemangku adat untuk menanamkan nilai-nilai dan ideologi adalah modalitas politik petahana sebagai konsekuensi dari stratifikasi sosial-masyarakat.[2] Inti dari semua faktor itu adalah adanya modal sosial, budaya, ekonomi dan politik dari petahana.

Kekuasaan yang menjadi modal besar bagi petahana tersebut tidak hanya memenangkan kontestasi, terkadang juga menjadikannya sebagai Calon Tunggal. Lahirnya Calon Tunggal sendiri disebabkan oleh partai politik yang belum maksimal dalam melakukan pendidikan politik dan pengkaderan. Sehingga terdapat partai politik yang tidak memiliki kader yang bisa dicalonkan dalam Pilkada, atau ada kader tapi belum percaya diri untuk mencalonkan di Pilkada. Selain itu, banyaknya parpol yang mengusung pasangan Calon Tunggal diduga dikondisikan oleh pasangan calon itu sendiri atau sebaliknya. Artinya, partai sebagai kendaraan politik, semuanya atau setidaknya mayoritas yang ada, digunakan oleh pasangan calon.[3] Maka dari itu, kekuasaan yang ada di tangan petahana membuatnya “di atas angin” dalam proses Pilkada selanjutnya.

Banyaknya modal yang dimiliki petahana, meski kelihatannya sebagai sesuatu yang sulit terelakkan, akan menjadi persoalan apabila tidak diberi batasan hukum yang jelas. Hal tersebut karena akan mengakibatkan ketiadaan pijakan yang sama dengan kontestan lainnya, sehingga mencederai bunyi konstitusi yang seharusnya memberikan hak yang setara bagi setiap orang. Misalnya dalam Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’. Lebih tegas lagi dinyatakan dalam Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Tanpa perlakuan serta kesempatan yang sama, maka akan sulit bagi setiap orang untuk berada pada pijakan yang sama dalam kontestasi Pilkada.

Secara teoritik, ketiadaan pijakan yang sama bagi setiap orang dalam pemerintahan juga mencederai keadilan. Menurut John Rawls, salah satu prinsip keadilan yang mesti dimiliki oleh negara yaitu The Greatest Equal Principle, atau prinsip persamaan hak. Pada prinsip pertama ini berlaku secara luas kepada seluruh masyarakat di suatu Negara demokratis tanpa terkecuali, persamaan yang dimaksud disini adalah persamaan dalam hak asasi manusia, misalnya; hak untuk hidup, hak bebas berpendapat, berserikat, mendapatkan keamanan, pendidikan, dan terhindar dari segala macam bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Keadilan mesti menjamin persamaan hak ini terwujud dan terjaga sedangkan prinsip kedua ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sehingga dapat memberi keuntungan bagi semua orang dan posisi jabatan terbuka bagi semua orang.[4]

Lebih lanjut, untuk mewujudkan keadilan itu, John Rawls menyatakan bahwa keadilan merupakan fairness atau kebijakan utama dalam institusi sosial, suatu hukum harus direformasi jika tidak adil karena setiap orang memiliki kehormatan berdasarkan keadilan dimana manusia kebebasan dan hak-haknya harus dijamin oleh keadilan. Di dalam masyarakat yang adil kebebasan warga Negara dijamin, hak-haknya dijamin tidak ada tawar menawar dalam politik atau soal kepentingan sosial.[5]

Dalam konteks Pilkada, keadilan tersebut dapat diperoleh dengan melakukan pembatasan terhadap petahana. Salah satunya agar Kepala Daerah tidak menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan calon Kepala Daerah baik di daerahnya maupun di daerah lain enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon. Apabila Kepala Daerah tersebut mencalonkan kembali pada Pilkada dan terbukti melakukan pelanggaran tersebut, akan dikenai sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon.[6] Pengaturan tersebut akan memberikan batasan untuk petahana dengan harapan, di Pilkada selanjutnya kontestan berangkat pada pijakan yang tidak terlalu jomplang.

Pengaturan tersebut di atas menjadi penting untuk diterapkan dalam pelaksanaan Pilkada. Hal tersebut guna mewujudkan keadilan pemilu, yang menurut International Institute for Democracy and electoral Assistance (IDEA), dapat dicapai dengan memenuhi tiga elemen, yaitu Prevention of Electoral Disputes (Pencegahan Sengketa Pemilu), Resolution of Electoral Disputes (Penyelesaian Sengketa Pemilu) serta Alternative Electoral Dispute Resolution (Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu). Pada konteks penyelesaian sengketa, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu corrective yaitu membatalkan, mengubah atau mengakui adanya pelanggaran serta punitive, yaitu menjatuhkan sanksi kepada pelaku baik secara administrasi maupun pidana.[7] Untuk itu, penegakan hukum pemilu, terutama dalam mendiskualifikasi petahana yang melakukan pelanggaran merupakan bagian dari keadilan pemilu itu sendiri serta memberikan harapan akan persamaan hak dalam Pilkada bagi setiap kontestan.

 

[1] Yohan Wahyu, Petahana Masih Jadi Perhatian Pemilih di Pilkada 2024, (Kompas.id), 03 Juli 2024, diakses pada 15 Juli 2024. https://www.kompas.id/baca/riset/2024/07/01/petahana-masih-jadi-perhatian-pemilih-di-pilkada-2024.

 

[2] Andi Muh. Dzul Fadli, Kemenangan Petahana dalam Kontestasi Pilkada Serentak 2018: Ditinjau dari Perspektif Powercube, Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam, Vol. 14, No. 2, 2018: 135. Doi: http://dx.doi.org/10.24042/tps.v14i2.3169.

 

[3] Abhan, dkk, Pasangan Calon Melawan Kolom Kosong: Potret Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pati Tahun 2017, (Semarang: CV. Rafi Sarana Perkasa, 2017), 102.

 

[4] John Rawls, Teori Keadilan, Terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 72.

 

[5] Ibid., 3-4.

 

[6] Pasal 71 Ayat (3) dan Ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016.

 

[7] Ayman Ayoub dan Andrew ellis (Ed.), electoral Justice: The International IDEA Handbook, (Sweden: IDEA, 2010), 10.



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas