Resensi

Selasa, 18 Februari 2020 | 14:49

Ilustarasi. Sumber: thedailystar.net

Saya tidak ingat kapan persisnya berkenalan dengan Asrul, tapi medio 2007 kami bertemu di Palopo, Sulawesi Selatan. Asrul kala itu jurnalis di Suara Sawerigading, salah satu koran lokal yang berpengaruh di Tanah Luwu. Saya mengenal sosoknya sebagai jurnalis yang kritis.

Lama tak bersua karena berbeda jarak, saya mendengar kabar tak enak dari sang kawan: Asrul dijebloskan ke tahanan Polda Sulsel sejak akhir Januari 2020. Asrul yang kini jurnalis di berita.news itu dituduh menyebar ujaran kebencian terhadap Kepala Badan Kepegawaian Palopo Farid Kasim Judas, yang tak lain putra Wali Kota Palopo Judas Amir.

Farid melalui kuasa hukumnya keberatan dengan berita Asrul tentang sejumlah kasus dugaan korupsi yang dikaitkan dengan “sang putra mahkota”. Asrul lantas dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), beleid yang banyak digunakan untuk membungkam kekebasan berekspresi.

Survei Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Indonesia, mencatat penggunaan UU ITE seolah menjadi “alat pukul” yang makin digandrungi. Sepanjang 2018 terdapat 292 kasus masuk ke Mahkamah Agung dengan perkara terkait UU ITE. Angka itu naik dua kali lipat dibanding 2017 yakni 140 kasus. Bahkan jumlah kasus di 2018 melebihi total kasus ITE sejak 2011-2017 yaitu 216 kasus.

SAFEnet mengatakan sebanyak 35,92 persen yang melaporkan kasus UU ITE adalah pejabat negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, kepala instansi/departemen, menteri, dan aparat keamanan. Pelaporan pejabat negara berangkat dari ujaran ekspresi dan kritik atas kinerja atau posisi pejabat tersebut.

Dari sinilah jurnalis banyak menjadi korban. Pada 2018, masih menurut SAFEnet, jurnalis dan pengelola media yang tersengat ITE sebanyak 8 kasus. Sedangkan 2019 salah satu yang mengundang sorotan publik adalah Dandy Laksono, pendiri Watchdog yang sempat “diinapkan” di Polda Metro Jaya.

Secara hukum, jurnalis tentu tak bisa sekonyong-konyong diganjar UU ITE. Jurnalis adalah salah satu profesi yang memiliki perundangan tersendiri (lex specialis) yakni Undang-Undang Pokok Pers nomor 40 Tahun 1999.

Dalam beleid ini sudah terang-benderang bagaimana persoalan sengketa pers dalam hal ini karya jurnalistik mestinya diproses lewat jalur Dewan Pers. Sebab karya jurnalistik menurut pasal 3 UU nomor 40 adalah bagian dari menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial. Bukan informasi sesat yang tidak bertanggung jawab, apalagi terkait ujaran kebencian.

Memang jurnalis seperti yang dikatakan Estabrook, bukanlah penerima amanat khusus dari Tuhan, lantaran ada kalanya juga salah. Bahkan tak bisa dipungkiri ada jurnalis yang masih mencampur adukkan pendapat pribadi dalam tulisannya. Namun lagi-lagi itu sudah diatur dalam Kode Etik Wartawan Indonesia sehingga menjadi kewenangan Dewan Pers untuk “mengadili” wartawan tersebut.

Oleh karena itu, Polda Sulsel diharapkan tidak menutup mata dan telinga atas desakan publik agar Asrul dibebaskan. Polda sejatinya tidak menempatkan karya jurnalistik sebagai bagian dari kriminalitas dengan jerat pasal karet. Sebab implikasinya tak hanya berakibat buruk pada kekebasan pers sebagai pilar demokrasi, tapi bisa berujung pada kekacauan hukum. Sehingga hanya ada satu kata: bebaskan Asrul!

Tri Suharman
Praktisi Media



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas