Sulawesi Barat punya tradisi unik saban Agustus, yang juga memperingati ulang tahun Indonesia. Saban 17 Agustus, kita akan menemui banyak perayaan menarik di berbagai kampung dan pelosok Sulbar. Sebut saja pawai budaya, yang bisa jadi sudah jarang dilakukan oleh sejumlah daerah lain di negeri ini. Kadang warga juga mengucapkan syukur atas ulang tahun Indonesia dengan menggelar sejumlah lomba, mulai dari balap karung, menghias becak, hingga balapan perahu sandeq yang sudah tersohor hingga mancanegara. Namun generasi sekarang bisa jadi tak banyak yang mengenalnya.
Menghias becak
Tradisi ini menarik karena menggabungkan kreativitas dan kearifan lokal. Terlebih di banyak daerah di Sulbar, becak masih sangat digemari sebagai alternatif sarana transportasi. Cara warga dan tukang becak dalam menghias moda ini pun banyak yang mengundang tawa. Ada yang berhasil menyulap kendaraan roda tiga ini jadi mirip tank tentara. Tak hanya bentuknya, tapi juga corak dan warnanya pun mengadopsi seragam loreng para prajurit. Ada juga yang mendandani becaknya dengan bunga plastik warna-warni, kertas krep, dan kain berwarna cerah sehingga terlihat semarak. Arak-arakan becak hias ini tak hanya menyenangkan penontonnya karena fotogenik, tapi juga secara tak langsung meningkatkan perekonomian para pengemudinya. Saat karnaval, biasanya becak hias ini berkeliling ke kampung-kampung.
Sayyang Pattudu
Di sejumlah daerah di Sulbar, karnval becak hias biasa dilakukan berbarengan dengan sayyang pattudu atau atraksi kuda menari. Sejatinya, tradisi ini dulu dilakukan sebagai bentuk syukur orang tua karena anaknya sudah khatam Al Quran. Namun pada akhirnya banyak juga yang menghelat sayyang pattudu di acara besar, seperti peringatan ulang tahun Indonesia maupun Sulawesi Barat. Bahkan Festival Sayyang Pattudu belakangan digelar rutin saban Agustus untuk mempertahankan kearifan lokal suku Mandar. Dalam sekali perayaan, 40-an kuda biasa diikutsertakan dalam iring-iringan. Di atas kuda itu duduk perempuan belia dalam balutan pakaian adat Mandar, yang diarak sembari ditabuhi rebana. Tradisi ini sangat menarik karena menyuguhkan juga Kalinda’da atau puisi Mandar, yang dilontarkan bersahut-sahutan. Isi puisinya beragam. Kadang puitis mengagumi kecantikan perempuan penunggang kuda. Namun kadang juga materinya serius, seperti tentang pendidikan, isu sosial, hingga pemerintahan dan agama. Isi materi inilah yang kadang membuat penonton tergelak.
BACA JUGA:
Selain Mandar, Ini Enam Suku yang Mendiami Sulbar sejak Zaman Dulu
Bunggu, Suku Berumah Pohon di Mamuju Utara
Sandeq Race
Festival perahu sandeq sudah ada sejak 1995. Balapan ini bahkan sudah sangat mendunia sebagai bentuk kekhasan budaya dan pariwisata bahari Mandar. Selain karena memicu adrenalin, juga karena menampilkan perahu-perahu eksotis yang bersaing untuk sampai lebih dulu di garis akhir. Tak jarang wisatawan mancanegara datang untuk menontonnya, baik dari Eropa, maupun Asia Tenggara. Titik awal dan etape di ajang balapan perahu sandeq ini berubah-ubah setiap tahunnya. Tahun ini, sebenarnya panitia sudah merancang titik awalnya di Pantai Bahari, Polewali Mandar, dan berakhir di Pantai Rimuku, Mamuju. Namun pandemi Corona membuat perhelatan ini ditunda sementara.
Dalam setiap perlombaan, biasanya ada puluhan perahu sandeq yang beradu kecepatan. Adapun satu perahu sandeq dikendalikan 13 orang awak. Mereka bahu-membahu selama belasan hari di lautan, untuk menjadi yang tercepat. Sandeq istimewa karena dianggap sebagai salah satu perahu tradisional tanpa mesin yang kecepatannya mumpuni. Perahu ini dapat berlayar pada kecepatan 20-30 knot atau 50 kilometer per jamnya. Kecepatan itu salah satunya dipengaruhi bentuk perahu yang ramping. Saking menariknya, balapan sandeq sempat masuk dalam 30 besar ajang wisata terbaik di Indonesia.
Kuliner di pesta rakyat
Pesta penganan di sini tak sembarangan. Karena memadukan sikap gotong-royong, saling berbagi, sekaligus unjuk gigi kuliner Mandar yang dikenal nikmat. Setiap akhir Agustus, orang Mandar biasa memasak sejumlah kudapan dan menu utama. Menariknya, hidangan itu mereka taruh di meja depan rumah sehingga bisa ditengok bahkan dicicipi siapa saja. Mulai dari bolu paranggi, olahan laut, hingga ketupat sayur bisa kita nikmati tanpa perlu membayar pada pemiliknya.
Memoles dinding dan pagar rumah
Sebagian warga masih meneruskan tradisi lama ini. Saat Agustus, mereka biasa mengecat tembok luar rumah maupun pagar dengan warna baru. Kadang kala mereka tak memakai cat kimia, melainkan dari bahan atau cairan bekas pakai. Tujuannya, untuk memeriahkan perayaan ulang tahun Indonesia.
TRIVIA
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar