SULAWESI Barat memang lebih banyak didiami oleh Suku Mandar. Bahkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk asal Suku Mandar di Sulbar mencapai 49,15%. Akan tetapi, provinsi anyar sempalan dari Sulawesi Selatan ini sejatinya ditinggali beragam suku/etnis, seperti Toraja, Bugis, Jawa, dan Makassar. Kendati demikian, terdapat 19,15% suku lainnya. Di antara suku tersebut bahkan sudah ada jauh sebelum zaman modern.
Yang menarik mereka memiliki bahasa sendiri yang cukup jauh berbeda dengan Bahasa Mandar. Kendati tak menghilang ditelan zaman, namun terpaan modernitas membuat mereka tak terlalu menonjol. Tulisan ini sebagai pemicu agar mereka tetap lestari. Berikut keenam suku yang mendiami Sulbar selain Mandar, sejak zaman dahulu tersebut.
Suku Dakka
Wilayah persebaran orang Suku Dakka adalah di Kecamatan Tapango, Wonomulyo, dan Matakali, Kabupaten Polewali Mandar. Seperti yang dilansir dari Kompadansamandar, Dakka dikenal sebagai kerajaan kecil yang areanya ada di antara Pitu Ulunna Salu (PUS – bagian hulu) dan Pitu Baqbana Binanga (PBB – bagian hilir). Ada di daerah transisi, membuat Dakka berkembang dan adaptatif. Orang Dakka yang tinggal lebih dekat ke hulu akan mengikuti hukum PUS, demikian pula yang di hilir, memakai hukum PBB.
Bersama kerajaan kecil lainnya, Dakka membentuk Palili Arrua atau delapan kerajaan kecil. Palili itu terbagi dua, ada yang berada di gunung, ada juga yang di dekat pantai. Namun bila menilik lokasi tinggal suku ini yang sekarang, bisa jadi dulunya orang Dakka lebih banyak yang bertempat di Palili pantai.
Adapun soal bahasa, yang digunakan orang Dakka cenderung berbeda dengan bahasa Mandar. Sebuah literatur menyebut populasi pengguna bahasa Dakka sekitar 1500 orang. Sementara dialek yang digunakan secara leksikal memiliki kemiripan 72-77 persen dengan bahasa orang Pannei. Suku itu sendiri memang tinggal berdampingan di wilayah yang relatif dekat, dan bisa dibilang heterogen di Sulbar. Karenanya tak heran bila orang Dakka melakukan asimilasi lewat pernikahan dengan suku lain seperti Toraja, Mandar, Jawa, dan lainnya. Asimilasi ini pula yang membuat keberadaan suku Dakka meredup, kalah menonjol dari suku lainnya.
Suku Pattae
Kebanyakan orang Suku Pattae bermukim di Polewali Mandar, tepatnya di Kecamatan Matakali hingga perbatasan Kabupaten Pinrang. Suku ini relatif aktif melestarikan budayanya, salah satunya dengan mengadakan gelaran seni tradisional. Di ajang itu, beragam tradisi Pattae dihelat meriah, seperti tari toerang batu, tradisi padendang yang merupakan bentuk syukur atas panen, juga lagu daerah yang diiring rebana. Alat musik ini dekat dengan tradisi kebudayaan Pattae karena di masa lampau, mereka beretos kerja tinggi.
Pattae juga memiliki tradisi turun-temurun yang cukup unik, salah satunya seperti yang dilansir pada Pattae.com adalah Mimala Pakka. Tradisi yang dilakukan sepuluh tahun sekali ini dilakukan khususnya oleh mereka yang tinggal di Kampung Kunyi. Mimala Pakka adalah ritual menyembah sang dewata agar rezeki pertanian tetap baik. Sebagai bentuk tolak bala, agar terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan. Baik dalam kehidupan sosial, maupun menyangkut soal ekonomi masyarakat seperti dalam bercocok tanam.
Suku Pannei
Orang Suku Pannei tak hanya tinggal di Sulbar, tapi juga mendiami Sulawesi Selatan. Saat ini, jumlahnya diperkirakan sebanyak 250 ribu orang. Menariknya, kebanyakan orang Suku Pannei berprofesi sebagai petani, walau tak sedikit juga yang menjadi nelayan dan pengrajin.
Masih jarang yang menulis secara lengkap tentang keberadaan Suku Pannei ini. Namun terdapat beberapa literatur yang menyebut Pannei sama dengan suku Toala, suku primitif yang mendiami gua-gua prasejarah di Maros dan Soppeng, Sulawesi Selatan.
Dalam penelitian berjudul Berdirinya Kerajaan Mamuju oleh Syahrir Kila pada 2019 menyebut tidak tertutup kemungkinan, penghuni pertama bumi Mandar adalah juga sejenis manusia Toala yang hidupnya di dalam gua-gua. Namun sampai sekarang belum ada satu pun penelitian yang telah menemukan sisa-sisa kerangka manusia purba sebagai pencipta dan pendukung kebudayaan Toala di daerah ini.
Suku Pattinjo
Suku ini sebenarnya berasal dari wilayah Pinrang, Sulawesi Selatan, sehingga kerap disebut Bugis-Pattinjo, karena menganggapnya sebagai sub-suku Bugis. Namun mereka juga tersebar di perbatasan Sulawesi Barat sejak zaman dulu. Khususnya di wilayah Polewali Mandar.
Dalam penelitian berjudul Leksikostatistik Pada Bahasa Pattinjo Dan Bahasa Bugis Di Pinrang Bagian Utara Kabupaten Pinrang oleh Mirna Dewi dkk pada 2018, Pattinjo layak disebut suku karena dulunya mereka punya struktur pemerintahan sendiri. Seperti Maddika (setingkat kepala desa), Tomakaka dan Pakkarungan.
Mereka pun memiliki adat istiadat, budaya, serta bahasa sendiri. Contoh tradisi mereka yang dikenal adalah Marroddo di Lembang, suling bambu di Desa Sali-Sali, pencak silat juga rebana. Adapun dari segi bahasa, suku Pattinjo malah dekat dengan budaya Suku Toraja. Ada dugaan bahwa dulunya orang Pattinjo dan Toraja punya sejarah yang berkaitan.
Suku Bunggu
Suku Bunggu tinggal di pedalaman Mamuju Utara. Dulunya mereka bertahan hidup dengan bercocok tanam singkong, sagu, dan jagung, secara nomaden. Setelah panen, mereka biasa berpindah tempat. Mereka juga dikenal dengan pakaian unik berasal dari kulit kayu.
Rumah orang Suku Bunggu juga dulunya ada di atas dahan agar mereka aman dari binatang buas. Mereka juga senang hidup jauh dari hiruk-pikuk, dan kurang suka dengan kehadiran orang lain. Bagi warga Pasangkayu, Mamuju Utara, sendiri, orang Banggu dikenal pandai menyelinap dan bersembunyi ke balik pohon dengan cepat. Bahkan gara-gara itu mereka disebut To Pambuni alias mereka yang terasing tapi punya kekuatan gaib.
Konon nenek moyang Suku Bunggu tidak berdarah Mandar, melainkan dari Suku Kaili, Sulawesi Tengah, yang mengembara hingga pegunungan Sulbar. Sayangnya, seiring waktu, hutan kian terkikis akibat penebangan. Orang Bunggu pun mulai mendirikan rumah panggung dan membuka lahan. Mereka tinggal menetap di sejumlah desa seperti Pakava, Bambaira, Sarjo, Polewali, dan Martasari, dan mulai berkenalan dengan teknologi. Bahkan Pakava kini menjadi objek wisata.
BACA JUGA:
Bunggu, Suku Berumah Pohon di Mamuju Utara
Tana Lotong Mamuju, Jejak Manusia Pertama Sulawesi
Suku Da’a
Seperti Bunggu, Suku Da’a dulunya tinggal nomaden di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, tepatnya di kawasan hutan dan pegunungan. Suku ini sejatinya adalah subsuku Kaili, dan karenanya memakai bahasa Kaili dengan dilek Da’a. Di Sulbar, kebanyakan orang Da’a tinggal di Bambaira, Mamuju Utara. Mereka dikenal ahli menggunakan sumpit, seperti orang Dayak di Kalimantan, dengan makanan utama berupa sagu dan ubi jalar. Sejak 1970-an, pemerintah daerah memindahkan mereka ke dataran rendah, dan orang Da’a pun mulai berkebun dan beternak.
Di kalangan orang Da’a, babi sangat popular. Bahkan hewan itu menjadi mas kawin pernikahan. Suku ini juga tergolong unik karena budayanya jauh dari maritim. Mereka cenderung suka bertani dan berburu, tapi tidak senang melaut dan membuat perahu. Orang Da’a tinggal di rumah yang disebut sou langa atau rumah tinggi. Adapun dulunya, mereka tinggal di rumah pohon besar, salah satunya ketapang.
Pakaian etnik suku ini pun menarik. Orang Da’a biasa memakai baju dari kulit kayu yang diambil dari pohon yang berwarna putih atau malo. Cara membuatnya, kulit kayu yang akan dibuat pakaian dipukul dulu dengan batu yang disebut ike. Alat itu terbuat dari batu lempung yang dibakar dan diambil dari tempat khusus di pegunungan.
TRIVIA | TRI S
Komentar Untuk Berita Ini (1)
Bagaimana dgn bahasa koneq-koneq i dicampalagian apa dia memiliki suku tersendiri?
Posting komentar