Budaya

Senin, 09 Agustus 2021 | 13:14

Salah satu rumah panggung di Sulbar/Sulbarkita.com-Azhari

Konstruksi rumah panggung dianggap bandel melawan bencana gempa. Tak hanya dimiliki orang Mandar di Sulawesi Barat, rumah panggung juga dilestarikan turun-temurun di sejumlah daerah di Nusantara.

Gempa bumi 6,2 skala Richter yang mengguncang sejumlah daerah di Sulawesi Barat pada pertengahan Januari 2021 memporakporandakan ribuan rumah dan perkantoran di Mamuju dan Majene. Musibah itu diduga terkait adanya empat sesar aktif yang salah satunya ada di Sulbar. Patahan tersebut juga menjadi salah satu faktor yang membuat Sulbar seolah menjadi “pelanggan” gempa. Berikutnya muncul pertanyaan, bisakah membuat bangunan yang aman, atau paling tidak lebih tahan gempa?

Badan Standardisasi Nasional sendiri sudah menetapkan bangunan berstandar nasional Indonesia (SNI) agar tahan dari gempa. Tak hanya desainnya, kekuatan pondasi, bahan dasar, dan ketinggian rumah juga mempunyai tolok ukur yang mesti diperhatikan. Namun sejatinya, nenek moyang kita melestarikan kearifan lokal terkait bangunan tahan gempa. Begitu pun suku Mandar di Sulawesi Barat. Bangunan itu berupa rumah panggung, yang didiami leluhur orang Mandar sejak dahulu kala.

“Sebenarnya gempa bumi itu tidak membunuh, tapi bangunannya yang membunuh. Solusinya satu, jangan bangun rumah tembok. Bangunlah rumah dari kayu atau bambu yang didesain menarik,” kata Koordinator bidang Mitigasi Gempa bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofiiska, Daryono. Bila pun tetap membangun rumah tembok, Daryono menyebut materialnya haruslah sebaik mungkin.

Menilik dari namanya, rumah panggung memiliki bangunan utama yang sekilas tampak seperti panggung “melayang di udara”. Pilar bangunan ini biasanya dibuat dari beton dengan material rumah yang didominasi kayu dengan pemanfaatan batu dan kerikil pantai di sekitarnya. Itulah sebabnya rumah panggung terlihat etnik dan artistik sekaligus.

Model bangunan rumah panggung dirancang sedemikian rupa bukan tanpa alasan. Pemanfaatan kayu, misalnya, lebih tahan goncangan gempa karena sifatnya yang lebih elastis. Nah yang unik, kerangka rumah panggung itu tidak diikat dengan paku beton, tetapi dengan sistem dowel kayu. Ini berarti aritnya menyambungkan kayu dengan kayu juga. Kayu itu lebih dulu dilubangi, untuk kemudian ditancapkan dengan kayu yang lainnya. Bila ternyata kayunya masih kurang panjang, maka akan disambung dengan kayu yang lain, tapi tetap tak menggunakan paku.

Jenis kayu yang kerap dimanfaatkan untuk membangun rumah panggung pun tak sembarangan. Sebagian jenis yang sering digunakan adalah kayu jati, dan kayu kelapa yang sering disebut arurung. Sejumlah penelitian menyebut jenis kayu ini tak hanya kuat, tapi memilki karakteristik elastis yang pastinya membuat bangunan lebih tahan goncangan. Tiangnya pun tidak ditanam, tapi lebih banyak orang memilih mengalasinya dengan batu. Cara itu tak semata mencegah pilar lapuk, tapi untuk menahan tiang agar lebih fleksibel bergerak.

Begitu pun ruang kosong semacam kolong yang ada di bawah bangunan rumah panggung. Ruangan kolong itu sebetulnya mempunyai faedah untuk melepas energi getaran dari dalam tanah. Sehingga hanya sebagian kecil getaran gempa yang merambat ke fisik rumah dan mencegahnya roboh. Menariknya, struktur bangunan ini digunakan turun-temurun oleh nenek-moyang kita. Walau sayangnya, kini tak banyak lagi masyarakat yang memilih desain rumah panggung untuk huniannya.


Aad, seniman dari Mandar yang melukis boyang ke'de (rumah panggung)

Rumah Kayu Tahan Gempa di Berbagai Daerah

Keberadaan Indonesia di jalur Cincin Api Pasifik memang rentan dengan berbagai bencana termasuk gempa bumi. Dinamika alam inilah yang mengilhami leluhur kita untuk membuat rancang bangun yang tahan bencana. Tak hanya di Sulbar, sejumlah daerah lain pun memiliki tradisi masing-masing terkait bangunan vernakuler pelawan bencana. “Kita harus beradaptasi. Kalau lingkungannya seperti itu (rawan gempa), ya kita harus menyesuaikan,” ujar Daryono.

Rumah vernakuler sendiri tumbuh sebagai respons terhadap bencana. Dalam bukunya yang berjudul House, Form, and Culture, Amos Rapoport menyebut rumah vernakuler selalu bertumbuh menyesuaikan kondisi alam agar bertahan. Tentunya ini berbeda dengan rumah modern yang cenderung seragam dan tak begitu peduli dengan konteks kebutuhan lingkungan. Itulah mengapa leluhur kita sejak dulu lebih memilih material kayu ketimbang bata, walau Belanda mengenalkannya sejak lama.

Wartawan asal Minangkabau, M. Radjab mendokumentasikan soal ini dengan baik dalam buku Semasa Kecil di Kampung. Radjab mengatakan, pernah mengalami gempa bumi pada 1926. Ketika itu, tulisnya, banyak warga yang celaka karena bangunannya kebanyakan terbuat dari bata.

Persamuhan konteks lokal, bencana, dengan arsitektur tak hanya kita jumpai di Sulbar dan Sumatera Barat, tapi juga di Sulawesi Utara, yang rumah adatnya memiliki fitur tahan gempa pada struktur pondasinya. Baik itu dinding, balok rangka utama, dan sistem pengaitan antarbaloknya. Rumah panggung di Sulut yang disebut Woloan itu juga dirancang dengan tiang-tiang pendek agar tak mudah roboh. Dalam buku Kode-kode Nusantara: Telaah Sains Mutakhir atas Jejak-jejak Tradisi di Kepulauan Indonesia, Hokky Situngkir menyebut bahwa penyesuaian tinggi itu adalah untuk memaksimalkan fungsi suspensi agar tahan menghadapi getaran hebat.

Begitu pun di Jawa, tepatnya di kampung-kampung tradisional di Jawa Barat. Rumah di sana juga dibuat dengan tiang-tiang rendah. Namun, itu karena orang Sunda tak punya budaya menyimpan cadangan logistik. Lain halnya di Nias, Sumatera Utara, yang tiang-tiang penyangganya justru sengaja dibuat tinggi. Hal itu menyesuaikan kondisi setempat yang kerap terjadi perang antardesa. Harapannya, tiang-tiang tinggi itu juga berfungsi sebagai pagar yang bisa melindungi dari serangan. Kayu-kayu lokal yang digunakan juga disambung tanpa paku, hanya dengan sambungan pasak.

Namun tak hanya struktur bangunannya yang mesti beradaptasi dengan lingkungan. Area pantai pun, kata Daryono, mesti ditata agar tak terlalu berisiko bagi keselamatan warga. Misalnya dengan mendirikan bangunan dan area permukiman paling tidak 300-500 meter dari pantai. Soal ini, Daryono menganjurkan agar pemerintah daerah juga berinisiatif untuk melakukan sosialisasi terkait penanganan bencana. “Tak hanya masyarakat kota, mereka yang tinggal di pesisir dan desa juga harus diberi pemahaman,” kata dia.

Trivia

 

 

 

 

 



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas