Polman, Sulbarkita.com -- Pemerintah Kabupaten Majene memperingati peristiwa pembantaian penduduk sipil di Monumen Korban 40 ribu Jiwa di Desa Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polman pada Sabtu, 2 Februari 2018. Kegiatan dalam bentuk pagelaran dan siarah makam ini merupakan wujud penghargaan atas jasa para pejuang yang telah gugur saat itu.
Menurut Bupati Majene, Fahmi Massiara, pembantaian etnis Mandar yang dilakukan penjajah Belanda 72 tahun silam tersebut merupakan bentuk kejahatan perang Internasional. “Mahkamah Internasional harus memberikan rasa keadilan bagi para korban serta keluarganya,” ujarnya dalam sambutan.
Prihatin dengan peristiwa itu, Fahmi pun merekomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat agar menetapkan 1 Februari sebagai hari berkabung daerah. “Kami mengetuk hati Pemerintah Provinsi Sulbar untuk segera menetapkan hari berkabung tersebut,” kata dia. Selain itu, Fahmi berharap tugu korban 40 ribu jiwa dapat dijadikan sebagai situs sejarah Nasional.
Senada dengan Fahmi, guru mata pelajaran sejarah sekaligus peneliti peristiwa pembantaian Galung Lombok, Heri Herlina mengusulkan agar kejadian tersebut dimasukan dalam pelajaran sejarah di Sekolah. “Agar siswa mengetahui sejarah patriotik masyarakat Mandar. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan bukan hanya di tanah Jawa, kita bukan penikmat kemerdekaan tapi pejuang kemerdekaan,” ujar Heri.
Mendengar usulan itu, Asisten 1 Bidang Pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat, Muh. Natsir akan menyampaikan rekomendasi tersebut kepada Gubernur Sulbar, Ali Baal Masdar. “Termasuk mengupayakan status kepemilikan sertifikat tanah monumen 40 ribu jiwa dan mendukung perjuangan mendapatkan kompensasi ekonomi dari Pemerintah Belanda,” katanya.
Kegiatan itu turut dihadiri Mantan Bupati Majene, Kalma Katta dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Jenderal Purn. Salim S Mengga sebagai perwakilan keluarga korban pembantaian Galung Lombok. Serta beberapa pejabat teras Kabupaten Polman dan Majene dan tokoh-tokoh masyarakat.
Sejarah Pembantaian Galung Lombok
Pembantaian di Galung Lombok atau yang dikenal dengan istilah “panyapuang” oleh masyarakat sekitar terjadi pada 1 Februari 1947, yakni 2 tahun setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, penjajah Belanda kala itu kembali melakukan agresi militer hingga ke wilayah Sulawesi yang dipimpin Paul Raymond Westerling.
Setibanya di Majene, penjajah Belanda mendapat perlawanan sengit dari penduduk setempat. Karena perlengkapan persenjataan yang tidak mumpuni, para pejuang pribumi itu pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara yang ada di Majene. Akhirnya para tawanan ini digiring ke Galung Lombok yang berjarak 5 kilometer, tujuannya untuk mengadili serta memberi rasa takut kepada penduduk.
Penjajah Belanda pun mengumpulkan warga untuk menyaksikan peradilan itu, namun adanya laporan penghadangan pasukan patroli Belanda yang dilakukan pejuang lainnya dan mengakibatkan beberapa tentara tewas menyulut kemarahan Wasterling. Dan peristiwa pembataian pun terjadi, seluruh tahanan maupun warga yang hadir diberondol peluru tajam.
Dilansir dari Kompas.com, 13 Juli 2013, pasukan khusus Westerling menyisir wilayah Majene dan Polman, mengumpulkan dan menembaki rakyat sipil di daerah Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Polman. Rakyat Mandar kala itu ditembaki secara membabi buta dengan tangan terbelenggu. Tragedi ini termasuk pembantaian paling kejam sedunia.
Muhammad Ashari
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar