OPINI

Senin, 29 Juni 2020 | 13:55

Ilustrasi/ Sumber: toonpool.com

Darurat Demokrasi di Indonesia tampaknya semakin menampakkan wujudnya. Indokator dari hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya kasus kriminalisasi yang dialami oleh banyak orang karena menggunakan hak kebebasan dan berkumpul mereka. Data YLBHI di 16 provinsi menyebutkan, terdapat 6.128 orang menjadi korban pelanggaran kebebasan berpendapat dan burkumpul sepanjang 2019. Data tersebut menunjukkan pelanggaran terhadap kebebasan sipil di awal periode kedua Presiden Joko Widodo cukup buruk.

Respons berlebih pemerintah terhadap kritikan yang disampaikan oleh masyarakat adalah bentuk ketidak-dewasaan dan ketidak-siapan pemerintah dalam menghadapi masyarakat di era keterbukaan informasi. Hal tersebut kemudian dapat kita lihat pada tahun 2020, berbagai kasus yang terjadi, di antaranya, Ruslan Buton yang memberi kritik kepada Presiden Joko Widodo yang harus berakhir dengan penjemputan oleh Kepolisian, kasus unggahan guyonan presiden ke 4 Abdul Rahman Wahid yang juga berurusan dengan Kepolisian, kemudian kasus komika Bintang Emon yang menyampaikan kritik terkait kasus Novel diserang di dunia maya. Dan kasus yang paling disayangkan adalah intimidasi para mahasiswa pembuat diskusi bertema “Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Di Tinjau Dari Sistem Ketatanegaraan“ pada 29 Mei 2020 di Universitas Gajah Mada.

BACA JUGA:
Efek Positif di Balik Pandemi Corona
Kegalauan Hukum di Tengah Pandemi

Rentetan kejadian-kejadian tersebut secara gamblang telah menodai hak warga negara untuk memperoleh kebebasan berpendapat, padahal secara yuridis hak menyampaikan pendapat telah dijamin oleh banyak piranti peraturan perundang-undangan. Baik oleh konstitusi sebagaimana dalam Pasal 28 E UUD 1945 yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap orang dijamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Selain itu, pasal 28 F UUD 1945 juga menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Kebebasan berpendapat juga diakui secara global oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Pengakuan tersebut menggunakan piranti hukum yang mengikat dunia internasional pada Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Yang isinya menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas. Sehingga, pelanggaran terhadap terhadap hak untuk mengeluarkan pendapat tidak hanya meruntuhkan kemanusiaan, meruntuhkan nilai demokrasi dalam bernegara, tetapi juga mencederai kesepakatan internasional mengenai Hak Asasi Manusia.

Meskipun hak berpendapat dan berekspresi telah dijamin dalam struktur hukum nasional dan internasional, namun faktanya secara sadar atau tidak, sampai saat ini tidakan intimidasi dan atau represif masih menghantui masyarakat kita untuk  berpendapat, berekspresi, dan berkumpul. Sehingga sangat wajar apabila kita mengatakan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia hanya pada tahap imaginer semata, tidak terimplementasi dalam kenyataan dengan baik. Dengan demikian, kekebasan untuk mengkritik pemerintah Indonesia sudah menjadi hal yang fana, sedangkan kriminalisasi, tindakan represif dan intimidasi seakan menjadi abadi.

Sebaiknya pemerintah melakukan rekonstruksi pemikiran maupun tindakan dalam menanggapi setiap pendapat dan kritikan yang dilakukan masyarakat. Bukan malah melakukan penafsiran yang subjektif dan tidak berdasar, karena setiap pendapat dan kritikan yang disampaikan oleh masyarakat terhadap pemerintah adalah bentuk respons dalam menaggapi suatu hal, peristiwa atau terhadap kebijakan publik yang bisa jadi berhubungan langsung dengan kehidupannya. Negara harusya hadir dan mencegah penggunaan hukum, terutama hukum pidana, untuk membungkam orang-orang yang kritis dalam menyampaikan pendapat. Di sisi lain, meski tetap dibatasi cara penyampaiannya, setiap orang tidak akan lagi dipenjara hanya karena pandangannya terhadap suatu hal dinilai berseberangan dengan keinginan penguasa. Sudah semestinya kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat terus hidup dan massif, dalam perjalan berbangsa dan bernegara. Agar proses berbangsa dan bernegara dapat kita kawal bersama-sama.

Marwan Fadhel, S. H. I., M. H
(Praktisi Hukum)



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas