Pertanyaan:
Saya tinggal di rumah orang tua saya karena mereka bilang telah mewarsikan rumah itu ke saya. Namun hingga orang tua saya meninggal, tidak ada hitam di atas putih atas warisan tersebut. Belakangan saudara kandung saya (Yang sudah punya rumah sendiri) meminta saya untuk keluar dari rumah tersebut. Alasannya rumah itu akan dijual dan dibagi rata dengan saudara kandung saya lainnya. Kebetulan kami 4 bersaudara. Apakah saya bisa menolak untuk keluar rumah? Kalau dipaksa apakah saya berhak menggugatnya ke ranah hukum?
Marding, Mamuju
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan anda.
Dari pertanyaan anda, kami menyimpulkan bahwa persoalan yang anda hadapi adalah persoalan kewarisan. Di Indonesia, secara umum ada dua sumber hukum yang berlaku jika berbicara penyelesaian kewarisan. Pertama adalah hukum waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), kedua adalah hukum Islam yang telah dikompilasi menjadi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam praktik hukum kewarisan, jika seseorang beragama Islam, maka yang berlaku padanya adalah Kompilasi Hukum Islam. Jika seseorang beragama non Islam, maka yang dipakai adalah KUH Perdata. Namun kali ini, saya akan mengurai secara umum kedua norma tersebut.
Pada Pasal 171 huruf a KHI disebutkan bahwa Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam norma tersebut, seluk beluk kewarisan diatur dalam hukum kewarisan. Sedang pada Pasal 830 KUH Perdata disebutkan, “pewarisan hanya terjadi karena kematian”. Sehingga, pewarisan hanya bisa terjadi jika terjadi kematian (dalam hal ini disebut pewaris) dan meninggalkan harta warisan untuk dibagi kepada ahli warisnya.
Dalam menentukan siapa ahli waris, ada sedikit perbedaan dari kedua norma tersebut. Dalam KUH Perdata misalnya, ahli waris secara umum dibagi menjadi 4 golongan. Dalam Pasal 852 KUH Perdata, Golongan pertama yang menerima harta waris dari pewaris adalah anak pewaris dan suami atau istri yang hidup lebih lama. Golongan kedua dan ini diatur dalam Pasal 854 KUH Perdata, adalah bapak atau ibu dan saudara kandung pewaris. Golongan ketiga adalah kakek dan nenek pewaris, baik dari garis ibu maupun bapak pewaris. Golongan keempat adalah paman dan bibi pewaris baik dari garis ayah maupun ibu pewaris beserta keturunannya.
Golongan kedua hanya bisa mendapatkan harta warisan jika pewaris tidak mempunyai ahli waris golongan pertama. Begitu pun golongan ketiga hanya bisa mendapatkan harta warisan dari pewaris ketika ahli waris dari golongan pertama maupun golongan kedua, tidak ada. Begitu seterusnya sampai ahli waris golongan keempat. Sedangkan pembagian harta waris menurut Pasal 1079 KUH Perdata, secara umum dibagi sama rata ke masing-masing ahli waris.
Dalam Pasal 174 angka (1) huruf a dan huruf b KHI, ahli waris secara umum dibagi menjadi dua bagian. Pertama menurut hubungan darah yang dibagi kembali menjadi golongan laki-laki yaitu: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Sedangkan golongan perempuan yaitu: Ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Kedua ahli waris menurut hubungan perkawinan, yaitu janda atau duda. Jika semua ahli waris masih hidup seperti disebutkan di atas, maka yang berhak menerima warisan adalah anak, ayah, ibu serta janda atau duda. Dalam pembagiannya, secara umum anak laki-laki mendapatkan dua bagian, sedang anak perempuan mendapatkan satu bagian. Ayah mendapatkan warisan sepertiga bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak. Jika pewaris meninggalkan anak, maka ayah mendapatkan seperenam bagian. Sedang Ibu pewaris mendapatkan seperenam bagian jika pewaris meninggalkan anak maupun dua saudara atau lebih. Jika pewaris tidak meninggalkan anak dan dua saudara atau lebih, maka ibu mendapatkan sepertiga bagian.
Hak waris dari pewaris, baik dari segi hukum perdata maupun dari segi hukum Islam, pada dasarnya tidak dapat dikurangi apalagi dihilangkan, kecuali beberapa sebab, misalnya salah satu pewaris menolak warisan yang jatuh kepadanya (Pasal 1057 KUHPer). Sedangkan dalam hukum Islam tidak dikenal yang namanya penolakan warisan. Dalam hukum Islam terdapat unsur “memaksa” (ijbari = compulsory) dalam hukum kewarisan Islam itu terlihat, terutama, dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan Allah swt., di luar kehendaknya sendiri. Selain itu juga pada Pasal 187 ayat (2) KHI disebutkan bahwa sisa harta yang ditinggalkan setelah dikeluarakan zakat, dibayarkan seluru hutang (apa bila ada hutang) maka, sisa harta tersebut merupakan warisan yang harus dibagikan kepada pewaris. Secara umum, seseorang terhalang jadi ahli waris jika melakukan penolakan sebagai pewaris, dipersalahkan membunuh, atau mencoba membunuh para pewaris, atau menfitnah pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara atau lebih.
Berdasarkan pertanyaan anda, rumah yang ditinggalkan pewaris yang saat ini anda tempati adalah harta warisan yang menurut pewaris, telah diwariskan kepada anda secara lisan. Namun, meski pewaris pernah menyampaikan kepada anda bahwa anda yang mewarisi rumah tersebut, hal itu tidak menghilangkan hak waris ahli waris yang lain. Terlebih lagi jika merujuk pada hukum Islam para ahli waris yang anda sebutkan termasuk dalam golongan zawil furud atau ahli waris yang mendapatkan harta warisan berdasarkan bagian tertentu dari harta warisan yang telah ditentukan oleh Al Quran dan Hadist. Golongan ini merupakan pihak yang pertama kali mendapatkan harta waris setelah pewaris meninggal dunia .Berdasarkan aturan baik dalam KUH Perdata maupun KHI, saudara anda tetap mempunyai hak terhadap harta warisan tersebut. Karena hak waris para ahli waris tidak boleh dikurangi apalagi dihilangkan. Sehingga kami sarankan, akan lebih bijak jika rumah tersebut tetap dibagi ke ahli waris yang lain meski telah memiliki tempat tinggal sendiri.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Marwan Fadhel, S.H.I., M.H. (Praktisi Hukum)
Halo Guys….
Anda punya pertanyaan seputar hukum? Silakan berkonsultasi dengan pengacara-pengacara yang menjadi partner kami.
Kirim pertanyaannya lewat jejaring sosial Sulbarkita.com atau email dengan disertai hashtag #TanyaSulbarkita .Berikut alamat medsos dan email yang kami siapkan untuk menerima pertanyaan anda:
- Facebook : SulbarKita
- Twitter : @sulbar_kita
- Instagram : sulbarkitadotcom
Email :
sulbarkita@gmail.com
info@sulbarkita.com
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Posting komentar