OPINI

Sabtu, 14 Oktober 2017 | 01:30

sumber : kompasiana.com

Tempo hari, saya berbincang dengan sejumlah warga di suatu desa di Majene, Sulawesi Barat. Pembahasan menyinggung soal “serangan fajar” terkait pemilihan pemimpin politik di suatu daerah. Maklum saja, Pilkades serentak yang melibatkan 39 desa, bakal berlangsung di wilayah ini pada 15 Oktober. Soal serangan fajar pun menjadi topik hangat yang sering diperbicangkan.

Menurut mereka, disebut serangan fajar, karena, pada pagi di hari, sebelum para wajib pilih pergi ke TPS (Tempat Pemungutan Suara), calon pemimpin atau tim sukses mereka diam-diam menyambangi setiap rumah untuk membagi-bagi sembako, atau yang acap terjadi memberi uang, dengan harapan para pemilih mencoblosnya atau calon pemimpin mereka.

Istilah warga ini adalah bagian dari money politic atau politik uang. Secara teoritik, menurut Indra Ismawan dalam bukunya Money Politic: Pengaruh Uang Dalam Pemilu, politik uang adalah upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Yang bisa terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum suatu negara. Sehingga, cukup tepat jika “serangan fajar” juga diartikan sebagai politik uang.

Saya kemudian bertanya terkait pendapat mereka soal ”serangan fajar”. Mereka mengaku kerap menunggu serangan fajar di hari pemilihan. Harapan si penyerang pun kerap terwujud, karena sebagian warga rela mencoblos sang calon bila uang sogokannya lebih banyak. Celakanya, mereka menganggap praktek kotor itu lumrah terjadi dan bukan rahasia lagi. Lantas bagaimana saat pemilihan kepala desa pada 15 Oktober 2017 nanti? Mereka menjawab sama; menunggu “serangan fajar”.

Kondisi miris ini jelas sulit dipisahkan dengan aktivitas para calon pemimpin politik yang memilih jalan pintas dan buruk untuk memenangi kontetasi politik. Sehingga serangan fajar menjadi momok yang sulit dipisahkan dengan pesta demokrasi, dan sudah tertanam dalam pola pikir masyarakat. Sangat disayangkan, karena perilaku buruk itu sudah masuk pada pemilihan kepala desa, jenjang paling kecil dari sebuah pesta demokrasi.

Secara moral, serangan fajar tentu adalah perbuatan yang tercela. Sebab, dalam meraih tampuk kepemimpinan politik, cara ini tidak mencerminkan persaingan yang sehat, tapi cara yang tidak jujur alias curang. Pun demikian dengan warga yang menerima imbalan dari para pelaku. Dalam perspektif agama terutama Islam, praktik money politik sangat dilarang. Sebab, hal itu sama saja memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Larangan tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 188 yang berbunyi:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Dalam perspektif Hukum Pidana, sangat jelas pula hukuman kepada siapa saja yang melakukan money politic dan juga bagi para penerimanya. Hal ini diatur dalam pasal 149 ayat 1 dan 2 KUHP yang berbunyi:

Ayat 1: Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling besar empat ribu lima ratus rupiah.”

Sedangkan ayat 2: Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap”.

Terkait Pemilihan Kepala Desa, terdapat aturan khusus terkait pelarangan untuk money politic, terutama saat melakukan kampanye. Aturan tersebut adalah Permendagri No. 112 tahun 2014 Tentang Pemilihan Desa. Dalam pasal 30 ayat 1 huruf (j) disebutkan, Peserta kampanye dilarang; menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.

Berdasarkan berbagai perspektif di atas, politik uang adalah hal yang tidak patut dan harus dihindari. Tak ada alasan untuk membenarkan perilaku tersebut. Tak ada juga alibi untuk turut menerima dan menjadi bagian dari lingkaran setan itu. Kesadaran ini harus ditanamkan baik pada diri calon pemimpin, dan para wajib pilih. Sehingga tak lagi menjadi kebiasaan yang jamak terjadi di masyarakat. Pun saya harapkan menjadi catatan bagi warga yang berbincang dengan saya tadi, kendati mereka hanya tertunduk dan mengangguk. Semoga menjadi generasi yang anti politik uang. Amin.

Mulya Sarmono
Praktisi Hukum



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas